Energi Bersih Tidak Harus Mahal, Kuncinya Inovasi

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Darmawan Prasodjo
Penulis: Tim Redaksi
7/11/2022, 14.15 WIB

Dampak perubahan iklim yang makin meresahkan dunia kembali menjadi agenda utama pertemuan tingkat tinggi tentang perubahan iklim PBB, Conference of The Parties ke-27 di Mesir yang dibuka kemarin. Tidak hanya krisis lingkungan yang menjadi perhatian, pembiayaan besar transisi energi pun disorot.

Pemerintah Indonesia menyatakan komitmen dalam penangan iklim tersebut. Perusahaan setrum negara, PT PLN, menjadi salah satu motor utama dalam transisi energi di dalam negeri. Maklum, pembangkit listrik saat ini sebagian besar menggunakan batu bara sebagai sumber energinya. Emisi karbon yang dihasilkan mencapai 280 juta ton per tahun, dan akan naik terus bila tidak diintervensi.

Direktur Utama PT PLN Darmawan Parasodjo mengatakan, perlu strategi jitu untuk menghasilkan energi bersih tapi dengan biaya yang murah. Saat ini investasi untuk menghasilkan energi terbarukan memang tergolong mahal.

“Dilema energi murah itu kotor dan energi bersih itu mahal harus diselesaikan,” kata Darmawan dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, pekan lalu. “Ke depan, energi murah harus bersih. Innovation is the key here.”

Menurut doktor ekonomi terapan dari Texas A&M University ini, banyak hal menantang untuk mereliasaikan transisi energi tersebut. Misalnya, renewable energy masih bersifat sisipan, sebab secara umum tetap harus bersandar pada pembangkit yang beroperasi 24 jam yang masih didominasi oleh batu bara atau gas. “Walaupun intermittent ini masuk, apakah pembangkit bisa dimatikan? Tidak bisa juga,” ujarnya.

Apa saja pandangan Darmawan Prasodjo mengenai transisi energi dan apa upaya yang dilakukan PLN untuk merealisasikannya? Berikut ini wawancara lengkapnya.

Sebagai perusahaan di sektor energi, apa inisiatif PLN dalam menurunkan emisi dan mendukung transisi energi di Indonesia? 

Penyebab bumi memanas adalah emisi gas rumah kaca (GRK). Dari satu liter bensin, satu kWh listrik, satu kilogram daging, satu kilogram nasi, beras, itu ada GRK-nya. Adanya pemanasan bumi ini maka environmental quality becomes a challenge. Kita harus pastikan generasi mendatang memiliki masa depan lebih baik. Caranya dengan mengurangi emisi GRK. 

PLN sangat berkomitmen untuk mengurangi GRK. Kita harus menjaga kesinambungan peradaban manusia. Memang ada perjanjian internasional, tapi ini bukan hanya formalitas, harus ada niatan. 

Di sektor transportasi, emisi saat ini 280 juta ton per tahun. Ke depan, dengan pertumbuhan yang sama, di 2060 akan naik menjadi sekitar 860 juta ton. Saat ini, emisi di sektor kelistrikan juga 280 juta ton. Kalau tanpa ada intervensi, emisi naik menjadi 920 juta ton. 

Berapa besar emisi gas rumah kaca saat ini?

Emisi GRK kita sekitar 1,5 miliar ton, sementara penduduk Indonesia sekitar 270 juta. Artinya, emisi per kapita kita hanya 3 - 4 ton per tahun per penduduk. Di Amerika Serikat, emisi per kapitanya sekitar 15 ton per penduduk, di Eropa 11 - 12 ton, Australia 18 - 19 ton, Malaysia 10-11 ton.

Jadi, ini adalah permasalahan global. Emisi satu ton CO2 di Jakarta dibandingkan emisi satu ton CO2 di Manado atau di Tokyo, Paris, Moskow, Washington DC, atau New York itu dampaknya sama. Maka, kita harus berpikir, bagaimana mengurangi emisi GRK dari Indonesia?

Berbicara masalah global, kita harus paham, kenapa di AS bisa 15 ton per kapita? Saya17 tahun hidup di sana. Rumahnya besar-besar, ada pemanas dan pendingin. Kalau musim panas didinginkan, kalau musim dingin dipanaskan. Satu rumah mobilnya bisa tiga. Satu mobil cc-nya 4000-6000. Sedangkan di Indonesia masih banyak yang pakai motor. Kemudian, besar mana pemakaian coal Indonesia dan AS? Jelas Amerika. Kita dengan Cina seperti apa? Besaran Cina.

Jadi, apa permasalahan perubahan iklim dengan gambaran itu semua? 

Di Cina pada 2001-2002, berapa energy mix-nya? Dari batu bara sekitar 50 %, kemudian 2009 energy mix dari batu bara meningkat drastis sekitar 80-an persen. Karena ada suatu dikotomi, ada dilema, kalau mau energi murah, ya kotor. Kalau mau energi bersih, ya mahal.

Pada 2000-2009 itu, Cina mengembangkan penambahan batu bara dengan jumlah yang besar sekali. Mereka menekankan pakai energi murah, bukan environmental sustainability. Dengan itu, mereka berbicara mengenai keunggulan. Apakah mau seperti itu terus? Tidak. Kalau seperti ini terus, bumi makin memanas.

Untuk itu, dulu ada feed-in tariff. Itu afirmatif. Tapi begitu feed-in tariff diterapkan di Perancis, Jerman, APBN mereka kebebanan triliunan, miliaran dolar Amerika, di mana kondisi ekonomi juga seret. Efek Covid-19 butuh dana untuk mengentaskan kemiskinan.

Jadi, dilema energi murah itu kotor dan energi bersih itu mahal harus diselesaikan. Ke depan harus energi murah ya bersih. Begitu bisa kita capai, transisi energi akan berjalan dengan smooth. Jadi innovation is the key here.

Bagaimana praktiknya di Indonesia untuk menuju transisi ini?

Pada 2015, kami lelang PLTS, harganya 25 sen. Di 2017 turun menjadi 10 sen, turun lagi menjadi 4 sen. Kemudian naik-turun-naik-turun. Artinya, kita punya harapan bahwa harga renewable energy bisa semakin murah. Kemudian, bicara mengenai wind, dulu 15 sen, turun 11 sen. Lelang kemarin, sudah di bawah 6 sen.

Namun renewable energy masih bersifat intermittent. Artinya, kalau ini masuk, masih harus bersandar pada pembangkit yang beroperasi 24 jam yang masih didominasi oleh batu bara, gas. Walaupun intermittent ini masuk, apakah pembangkit bisa dimatikan? Tidak bisa juga. 

Energi terbarukan akan terasosiasi dengan battery energy storage system. Tahun 2015, biaya simpannya sekitar 50 sen. Sekarang semakin kompetitif dan harganya semakin turun 12 - 15 sen per kWh. 

Murah? Tidak. Tapi kita harus melihat dari perspektif perjalanan peradaban manusia untuk berinovasi. Lima tahun lalu 50 sen, sekarang 12 - 13 sen, bisa turun 70 %. Lima tahun mendatang kalau turun 70 % dengan tren yang sama bisa 4 - 7 sen, itu tergantung inovasi.

Balik lagi ke 2000 – 2009, Cina menekankan pertumbuhan ekonomi, bukan kelestarian linngkungan. Dalam prosesnya, Cina juga membangun kekuatan untuk memproduksi produk-produk renewable energy dengan listriknya yang murah. Pembangkit listrik berbasis matahari, kekuatan utamanya di Cina. Produk pembangkit anginnya juga yang paling hebat saat ini, paling kompetitif harganya. 

Climate change bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga masalah ekonomi. Dan Cina melakukan ini sebagai peluang ekonomi, peluang untuk mendominasi pasar produk energi terbarukan di dunia. Ini juga peluang mereka untuk akselerasi ekonomi dan menciptakan lebih banyak pekerjaan untuk memperkuat posisi strategi mereka di komunitas global.

Transisi Energi PLN (Dok PLN)

Indonesia harus seperti apa?

Pertama, dilema bahwa kalau mau energi bersih ya mahal, mau murah ya kotor, itu harus diselesaikan. Dalam proses ini, kami melihat tren renewable energy price semakin turun.

PLT Matahari itu intermittent empat jam. Masih harus menggunakan baseload, pasti dari fossil fuel. Apa mungkin kita membangun renewable energy berbasis matahari yang beroperasi 24 jam? Sangat bisa, empat jam basis matahari, lalu 20 jamnya dari baterai. Caranya, ukuran pembangkit mataharinya lima kali lipat. Jadi empat jam itu disimpan dalam bentuk baterai, kemudian selama 20 jam listrik dari baterainya diambil. 

Kalau baterainya 15 sen per kWh, kemudian sistem listriknya 5 - 6 sen dari solar, artinya di atas 22 sen, jadi tidak kompetitif. Tapi bayangkan kalau PLTS 3 sen storage-nya juga 3 sen, artinya 6 - 7 sen. Geothermal berapa? 9 - 12 sen, batu bara 7 - 8 sen, jadi bisa lebih kompetitif. Saya masih punya keyakinan bahwa kita humankind is going to be able to solve this problem.

Kita punya harapan bahwa renewable energy suatu sistem energi yang superior. Superior secara ekonomis, komersial, sistem, dan teknis. Apakah ini hanya menjadi suatu harapan yang kosong? Saya merasakan ini adalah suatu roadmap, bukan hanya impian saja. Peradaban manusia betul-betul bertarung, betul-betul mencurahkan seluruh kekuatannya agar energi bersih menjadi lebih kompetitif. 

Bagaimana strategi untuk mencapai harapan tersebut?

PLN menjadi bagian dari inovasi tersebut. Kalau mengadakan lelang, arahan dari saya adalah mengeliminasi barrier to entry. Semuanya ikut, di mana seluruh kekuatan lokal, domestik, regional, maupun internasional kami buka. Kami ingin kekuatan inovasi ini bisa kami akomodasikan, fasilitasi, sehingga masuk ke dalam ekosistem PLN.

PLN harus berpikir jangka pendek, menengah, dan panjang. Di tahun lalu, ketika pembahasan RUPTL, ada 2 GW PLTU dalam fase planning langsung kami hapus. Kenapa itu paling mudah? Karena emisi 1 GW PLTU itu 6 juta ton, kalikan 25 - 30 tahun beroperasi, 30 x 6 juta ton per tahun, 180 juta ton per tahun. Itu namanya CO2 avoidance

Dua gigawatt artinya 180 x 2 GW itu 360 juta ton. Maka ada lagi 1,1 GW PLTU kami hapus dan langsung ganti EBT. Inovasinya tergantung, boleh pakai PLTS, pakai baterai. Itu masuk ke dalam RUPTL. Tapi pada 2027 - 2029, masih ada sekitar lima tahun lagi dari sekarang. Terus PLTS sebagai baterai, monggo. Kalau baterainya masih 15 sen, kemudian PLTS-nya sektiar lima sen, itu sekitar 21 sen, pasti berat sekali bagi APBN dan rakyat. 

Selama lima tahun ini harga battery energy storage system sudah berkurang sekitar 70 %. Kami harapkan nanti juga begitu. Makanya, apakah dalam RUPTL sudah fix akan menggunakan energi tertentu? Kami buka semua untuk EBT.

[Baca halaman selanjutnya:  Apa tantangan dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT)?]

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora