Pola bisnis dompet digital diprediksi mengalami perubahan. Pola transaksi tidak lagi mengandalkan belanja secara daring (online), baik untuk transportasi maupun e-commerce. Perusahaan penerbit akan menyasar transaksi ritel luring (offline).

(Baca: LinkAja, OVO, atau Go-Pay: Mana yang Anda Pilih?)

Riset yang dirilis Redseer menyebutkan, nilai transaksi dompet digital akan mencapai US$ 25 miliar atau sekitar Rp 354,8 triliun pada 2023. Angka itu meroket 1.566 persen dibandingkan nilai pada 2018 sebesar US$ 1,5 miliar.

(Baca: GoPay, Dompet Digital Milik Gojek yang Rajin 'Bakar Uang')

Pada 2023, transaksi dompet digital akan didominasi oleh transaksi luring yang mencapai 50 persen, naik dari 23 persen pada 2018. Sementara itu, penggunaan dompet digital untuk transportasi online dan transaksi e-commerce justru akan menurun, dari masing-masing 35 persen dan 15 persen menjadi 13 persen dan 10 persen.

(Baca: Potensi LinkAja Menggoyang Dominasi Dompet Digital Go-Pay dan OVO)

Pergeseran pola transaksi dompet digital dari online ke offline disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perusahaan penerbit dompet digital ingin mengurangi subsidi pada layanan mereka. Perusahaan memanfaatkan big data—mencatat setiap transaksi pelanggan—untuk membuat layanan atau iklan yang bisa ditawarkan kembali ke toko-toko ritel. 

(Baca: OVO Jadi Dompet Digital Terbesar di Indonesia Berkat Ekosistem Grab)

Kedua, perusahaan penerbit dompet digital ingin menyasar masyarakat yang belum terakses perbankan (unbanked). Transaksi pada ritel offline merupakan bentuk konsumsi yang biasa dan mudah dilakukan masyarakat tersebut sehingga bisa meningkatkan pangsa pasar ranah offline.