Produsen tahu dan tempe di tanah air menjerit. Penyebabnya karena kedelai yang sebagian besar diperoleh dari impor, harga melambung tinggi.
Salah satunya akibat pemerintah Tiongkok mereformasi peternakan babi pasca-diterpa penyakit flu babi dua tahun lalu. Kebijakan tersebut membutuhkan kedelai untuk pakan ternak babi.
Dalam empat bulan terakhir, harga kedelai global cenderung meningkat. Dari US$11,8 per bushel (gantang) pada 8 November 2021 naik 42% menjadi US$16,8 per gantang pada 4 Maret 2022.
Meskipun tempe merupakan makanan asli Indonesia, tetapi kedelai yang menjadi bahan bakunya masih diimpor. Kementerian Pertanian mencatat, rata-rata kebutuhan kedelai mencapai 3 juta ton setiap tahun. Sebanyak 80%-90% di antaranya dipasok dari luar negeri.
(Baca: Ironi Impor Kedelai Bangsa Tempe)
Selain karena minimnya ketersediaan kedelai lokal, produsen tempe dan tahu juga lebih memilih kedelai impor karena kualitasnya yang dianggap lebih bagus.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo), Aip Syariuddin mengatakan, akibat kenaikan harga kedelai sekitar 30 ribu perajin sempat berhenti berproduksi. Dia berharap pemerintah dapat membantu menurunkan harga kedelai.
Impor kedelai pada 2021 mencapai US$ 1,482 miliar atau Rp 21,04 triliun. Nilai tersebut meningkat 479,4 juta atau 47,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun, volume impor kedelai mencapai 2,49 juta ton, atau naik 0,58% dari tahun sebelumnya.
Dilihat dari negara asal impor, Amerika Serikat menjadi pemasok kedelai terbesar dengan nilai US$ 1,29 miliar atau Rp 18,3 triliun. Volumenya tercatat sebesar 2,15 juta ton atau 86,3% dari total volume.
(Baca: Perang Rusia-Ukraina Bisa Mengerek Harga Mi Instan dan Gorengan)
Negara pemasok kedelai terbesar kedua adalah Kanada dengan nilai impor kedelai sebesar US$ US$ 135,89 juta atau Rp 1,9 triliun dan volume 232 ribu ton.