Advertisement
Analisis | Perang Rusia-Ukraina Bisa Mengerek Harga Mi Instan dan Gorengan - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Perang Rusia-Ukraina Bisa Mengerek Harga Mi Instan dan Gorengan

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Perang Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan bisa berdampak ke Indonesia. Penyebabnya, industri makanan di Tanah Air sangat bergantung kepada gandum impor dan pasokan dari Ukraina. Seberapa besar dampaknya terhadap kenaikan harga mi instan dan gorengan di Indonesia?
Cindy Mutia Annur
2 Maret 2022, 21.29
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Indonesia memang jauh dari pusat perang antara Rusia dan Ukraina. Namun jika berkelanjutan dampaknya dapat dirasakan penduduk di tanah air. Salah satunya akibat kenaikan harga makanan, terutama produk yang terbuat dari terigu seperti mi instan dan gorengan. 

Gandum adalah bahan baku untuk membuat terigu. Selama ini Indonesia banyak mengimpor produk yang berasal dari tanaman jenis serealia tersebut. Berdasarkan data International Trade Center (ITC), Indonesia merupakan importir gandum dan meslin (tepung gandum) terbesar dunia.

Pada 2020, Indonesia mengimpor 10,3 juta ton gandum dan meslin senilai US$2,6 miliar. Dari segi nilai, posisi Indonesia berada di bawah Mesir yang mencapai US$2,7 miliar. Meskipun volume yang diimpor Mesir lebih rendah, yakni 9,6 juta ton.

Volume gandum impor tersebut hampir memenuhi seluruh kebutuhan gandum di Indonesia. Menurut laporan Kementerian Pertanian, penggunaan gandum sebanyak 10,42 juta ton pada 2020. Sebagian besar atau 81,3% diolah untuk makanan.

Kondisi ini membuat Indonesia rentan. Kalau perang tak segera usai, harganya di pasar global dapat meroket. Dalam sebulan terakhir saja, harga gandum sudah naik sekitar 24%. Persoalannya kedua negara yang bertikai merupakan pengekspor utama gandum di pasar dunia.

Masih berdasarkan data ITC, Rusia mengekspor 37,3 juta ton senilai US$7,9 miliar pada 2020. Dengan volume ekspor tersebut, Rusia merupakan negara eksportir gandum terbesar. Sementara Ukraina merupakan pengekspor nomor lima sebanyak 18,1 juta ton atau US$3,6 miliar.

Tak hanya soal harga. Perang juga dapat menghambat pasokan gandum di tanah air. Ini disebabkan Indonesia memang bergantung pada pasokan gandum dan tepung meslin Ukraina.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Ukraina merupakan pemasok terbesar kedua Indonesia, setelah Australia. Pada 2021, Indonesia mengimpor 2,83 juta ton senilai US$843,6 juta dari negara yang dipimpin Volodymyr Zelensky tersebut.  

Pengaruhnya terhadap Harga Mi Instan

Ada beragam makanan yang berasal dari olahan gandum di tanah air. Selain mi instan, gandum juga digunakan untuk membuat pasta, kue, sereal, permen, hingga biskuit. Bahkan penjual makanan pinggir jalan pun biasa menggunakan terigu, seperti bakwan, odading, atau martabak.

Meski beragam, mayoritas terigu di Indonesia dipakai untuk membuat mi instan. Berdasarkan laporan Australian Export Grains Innovation Centre (AEGIC), sebanyak 55% tepung terigu di Indonesia digunakan untuk industri mi instan.

Sementara, untuk membuat aneka produk roti sebanyak 28%. Sisanya, penggunaan tepung terigu yakni untuk membuat aneka kue, permen, dan biskuit sebanyak 17%.

Mi instan merupakan salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia. Ini terlihat dari laporan World Instant Noodle Association yang menunjukkan, jumlah konsumsi mi instan Indonesia ada di peringkat kedua dunia pada 2020. Tercatat, konsumsi mi instan di tanah air mencapai 12,64 miliar porsi, di bawah Tiongkok yang mencapai 46,35 miliar porsi.

Ketergantungan impor yang tinggi membuat posisi Indonesia rawan terkena dampak perang. Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, kelangkaan gandum bisa meningkatkan harga produk turunan gandum termasuk mi instan. Masalahnya, menurut dia, tidak semua konsumen siap dengan kenaikan harga khususnya masyarakat menengah ke bawah.

“Jika ada kenaikan harga (mi instan) Rp500-Rp1.000 saja, ini tentu mempengaruhi pelaku usaha.  Sehingga perlu dipikirkan efeknya (dampak kenaikan harga),” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa 1 Maret 2022.

Bhima menyarankan sejumlah langkah antisipasi dilakukan jika pasokan gandum di tanah air terganggu.  Dari segi produsen, dapat memangkas margin keuntungan, efisiensi biaya produksi, hingga memperkecil ukuran mi instan.

Sementara pemerintah, Bhima mengatakan, membantu fasilitasi produsen mi instan mendapatkan bahan baku gandum selain dari Ukraina. “Amerika Serikat dan Australia bisa menjadi alternatif,” ujarnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan, kenaikan harga mi instan tergantung pada lamanya intensitas perang Rusia-Ukraina.

Jika invasi Rusia hanya berlangsung sekitar 1-2 pekan, potensi kenaikan harga mi instan akan lebih kecil. Sebab, para produsen menengah ke atas umumnya memiliki stok bahan baku yang cukup hingga dua bulan.

Meski demikian, Adhi optimistis bahwa para pelaku industri telah mencari berbagai alternatif untuk mengantisipasi kenaikan harga gandum tersebut. Apalagi, bukan hanya Indonesia yang bakal mengalami terganggunya pasokan gandum akibat konflik Rusia-Ukraina.

“Maka dari itu perlu kita pikirkan alternatifnya, bagaimana kita lakukan substitusi gandum dengan bahan baku lainnya, melakukan inovasi produk, dan sebagainya,” ujar Adhi kepada Katadata.co.id, Selasa 1 Maret 2022.

Adhi berharap pemerintah juga turut berpartisipasi dalam mengantisipasi kenaikan harga gandum akibat konflik Rusia-Ukraina. Misalnya, yakni dengan melakukan pemotongan biaya-biaya yang terdapat dalam pencarian pasokan gandum.

Editor: Aria W. Yudhistira