Advertisement
Advertisement
Analisis | Ironi Impor Kedelai Bangsa Tempe - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ironi Impor Kedelai Bangsa Tempe

Foto: Timothy Adry Emmanuel/ Ilustrasi-Katadata
Tempe dan tahu adalah dua makanan populer di Indonesia. Ironisnya, mayoritas bahan baku untuk memproduksi kedua makanan tersebut masih diimpor. Kementerian Pertanian mencatat, sekitar 86,4% kebutuhan kedelai berasal dari impor.
Dimas Jarot Bayu
10 Juni 2021, 20.54
Button AI Summarize

Bung Karno berulang kali dalam pidatonya berujar, jangan pernah menjadi bangsa tempe. Ucapannya itu bukan ingin merendahkan makanan rakyat tersebut, melainkan karena tak ingin menjadi bangsa terjajah.

 Meski bergizi tinggi, tempe tercipta ketika Indonesia masih dijajah. Ketika kebanyakan rakyat tidak mampu menyediakan sumber protein lain untuk dirinya sendiri, terutama yang berasal dari produk hewani.

Tempe memang makanan rakyat. Hampir semua kalangan menyukai, termasuk presiden. Bung Karno dan Pak Harto pun diketahui menyukai makanan yang dibuat dari peragian kedelai tersebut. Selain tempe, kedelai juga menjadi bahan dasar pembuatan tahu.

Bukti begitu merakyatnya kedua makanan ini, terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Rata-rata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,152 kg tahu dalam sepekan. Sedangkan tempe sebanyak 0,139 kg.

Menurut Statista, konsumsi kedelai per kapita Indonesia sebesar 2,09 kg pada 2019. Angka ini memang turun 5,85% dibandingkan 2018 yang sebesar 2,22 kg. Namun konsumsi diperkirakan meningkat mulai 2020 hingga 2029.

Dalam Outlook Kedelai 2020, Kementerian Pertanian menyebutkan, peningkatan konsumsi kedelai didorong turunnya daya beli masyarakat. Resesi ekonomi menyebabkan kemampuan masyarakat membeli protein hewani menurun. Alhasil tempe dan tahu adalah alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein.

Selain itu, peningkatan konsumsi kedelai diprediksi karena masyarakat menengah ke atas makin banyak yang menerapkan gaya hidup vegan. Mereka lebih mengutamakan menu makanan dari sayur dan buah-buahan. 

Meski makanan rakyat, ironinya bahan baku tempe dan tahu adalah produk diimpor. Data Kementerian Pertanian menyebutkan sekitar 86,4% kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Hingga 2020, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1 miliar.

Ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai. Pertama, produksi dalam negeri yang rendah. Bahan dalam satu dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung turun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019.

“Memang produksi kedelai lokal kita belum bisa memenuhi kebutuhan domestik,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah kepada Katadata.co.id pada Senin, 7 Juni 2021

Salah satu penyebabnya adalah luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu ha pada 2010 menjadi 285,3 ribu ha pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian. “Transformasi lahan tidak bisa dihindari karena tuntutan ekonomi dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi,” tulis Kementerian Pertanian dalam laporannya.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira