Mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo, terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, divonis hukuman mati. Vonis tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2).
Dalam putusannya, hakim menyatakan tidak ada alasan pembenar dan pemaaf, yang dapat membuat hukuman Ferdy Sambo diturunkan. Hakim menyebut Ferdy Sambo terbukti melakukan perencanaan pembunuhan yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir J.
Dalam putusannya, hakim juga menyatakan bahwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan terbukti menjadi otak di balik pembunuhan Brigadir J. Hakim menyitir pernyataan Bharada E yang diungkap dalam sidang, yang menyebut Ferdy Sambo memberi perintah tembak kepada Bharada Richard Eliezer.
Indonesia menjadi salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati untuk beberapa jenis tindakan kejahatan. Sebagai gambaran, menurut data Amnesty International, selama periode Januari-Desember 2021, ada setidaknya 114 orang yang divonis hukuman mati di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 94 vonis mati dijatuhkan kepada terdakwa kejahatan narkotika, 14 terdakwa pembunuhan, dan 6 terdakwa terorisme.
Selain Ferdy Sambo, ada beberapa kasus serupa yang juga mendapatkan vonis hukuman mati. Berikut ini ulasan selengkapnya.
Dasar Hukum Pemberian Vonis Hukuman Mati untuk Pembunuhan Berencana
Di Indonesia, dasar hukum pemberian vonis hukuman mati, adalah Pasal 98 Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (UU KUHP).
Dalam pasal 98 UU KUHP disebutkan bahwa hukuman mati atau pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan (untuk) mengayomi masyarakat.
Terkait dengan tindak pidana pembunuhan, penjatuhan hukuman mati memiliki landasan Pasal 140 ayat (3) UU KUHP. Aturan tersebut menyebutkan, bahwa seseorang yang melakukan pembunuhan berencana, hukuman terberat, yakni hukuman mati. Menilik sejarahnya, hukuman mati untuk tindak pidana pembunuhan pertama kali diatur pada era pemerintahan Presiden Soeharto.
Kasus Pembunuhan yang Mendapat Vonis Hukuman Mati
Terkait dengan kasus pembunuhan, Pemerintah Indonesia melalui lembaga pengadilan telah beberapa kali menjatuhkan vonis hukuman mati. Beberapa kasus yang terkenal, antara lain sebagai berikut:
1. Pembunuhan Desa Jagalan (Oesin Bestari)
Oesin Bestari merupakan orang pertama yang mendapatkan vonis hukuman mati atas kejahatan pembunuhan berencana. Vonis hukuman mati dijatuhkan, karena ia terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap 6 rekan bisnisnya.
Ia merupakan warga Desa Jagalan, Mojokerto, Jawa Timur, yang bekerja sebagai pedagang kambing dan tukang jagal. Oesin diketahui melakukan pembunuhan berencana terhadap 6 orang di tempat terpisah.
Aksinya diketahui ketika korban terakhirnya sempat berteriak meminta pertolongan. Oesin kemudian ditangkap, dan atas kejahatannya tersebut, ia mendapat vonis mati. Oesin dieksekusi pada 14 September 1979.
2. Pencurian dan Pembunuhan Museum Gajah (Kusni Kasdut)
Kusni Kasdut pertama kali melakukan pembunuhan pada 1960, di mana saat itu ia menembak seorang pengusaha bernama Ali Bajhened dengan pistol.
Aksi kriminalnya kemudian berlanjut dengan perampokan Museum Nasional atau Museum Gajah pada 31 Mei 1961. Saat itu, ia menyamar sebagai polisi dan menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Kusni kemudian mencuri 11 berlian dari Museum Gajah tersebut.
Setelah aksi perampokan dan pembunuhan tersebut, ia tertangkap ketika mencoba menjual berlian hasil curiannya. Akibat kejahatan tersebut, ia dijatuhi vonis mati pada 1969.
Ia sempat mengajukan grasi, tapi ditolak oleh Presiden Soeharto melalui Surat Keputusan Presiden No. 32/G/1979. Kusni dieksekusi pada 16 Februari 1980 di dekat Kota Gresik, Jawa Timur.
3. Perampokan dan Pembunuhan di Bank (Henky Tupanwael)
Henky Tupanwael mendapat vonis hukuman mati setelah pada dekade 1960-an merampok Bank Nusantara sebesar Rp 21 juta lebih. Dalam aksi perampokannya tersebut, ia menembak mati dua orang.
Ia ditangkap pada 1966, dan menjalani serangkaian sidang hingga 1969, ketika Hakim Thamrin Manan menjatuhkan vonis hukuman mati. Henky Tupanwael kemudian ditahan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, dan menjalani eksekusi pada 5 Januari 1980.
4. Pembunuhan 42 Perempuan Deli Serdang (Ahmad Suradji)
Ahmad Suradji alias Dukun AS mendapat hukuman mati setelah terbukti melakukan pembunuhan terhadap 42 perempuan di Desa Sei Semayang, Sunggal, Deli Serdang, Sumatra Utara, sepanjang 1986-1997.
Kejahatan Ahmad Suradji terkuak saat Polisi menyelidiki kematian Sri Kemala Dewi, yang dibunuh pada 23 April 1997. Ketika menyelidiki laporan orang hilang, Polisi menemukan benang merah, bahwa beberapa perempuan yang dilaporkan hilang merupakan "pasien" Ahmad Suradji.
Berbekal informasi tersebut, Polisi menggeledah rumah Ahmad Suradji, dan ditemukan sejumlah pakaian dan perhiasan, salah satunya milik Dewi. Dari hasil interogasi, terkuak bahwa ia telah melakukan pembunuhan terhadap 42 perempuan.
Atas kejahatannya tersebut, Hakim yang diketuai Haogoaro Harefa menjatuhkan vonis hukuman mati pada 27 April 1998. Putusan hakim di tingkat banding dan kasasi tidak mengubah hukuman mati Ahmad Suradji.
5. Pembunuhan Keluarga Letkol Purwanto (Sumiarsih)
Sumiarsih merupakan muncikari sekaligus pengelola penginapan di lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur. Ia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada akhir 1998. Ia diketahui menjadi otak pembunuhan keluarga Letkol Purwanto pada 13 Agustus 1988.
Dalam menjalankan aksinya, ia tidak sendirian. Pembunuhan terhadap keluarga Letkol Purwanto tersebut, ia lakukan dibantu suaminya Djais Adi Prayitno, anaknya Sugeng, menantunya Serda (Pol) Adi Saputro, serta dua pegawainya.
Di antara enam pelaku pembunuhan tersebut, empat orang mendapat vonis hukuman mati. Keempatnya adalah Sumiarsih, Djais, Sugeng dan Adi Saputro.
Adi Saputro dieksekusi pada 1 Desember 1992. Sementara, Sumiarsih dan Sugeng dieksekusi pada 9 Juli 2008 setelah menjalani hukuman penjara 20 tahun. Adapun, Djais tidak sempat menjalani eksekusi karena meninggal saat masih menjalani hukuman.
6. Pembunuhan Satu Keluarga Kabupaten Kapuas (Ayub Bulubili)
Ayub Bulubili menjalani eksekusi hukuman mati pada 28 April 2007. Ia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Kapuas atas kejahatan pembantaian satu keluarga, yang terdiri dari sepasang suami-istri, dan empat anak pada 5 Februari 1999.
7. Pembunuhan Ibu dan Anak di NTT (Randy Badjideh)
Randy Badjideh mendapat vonis hukuman mati oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Majelis Hakim yang diketuai Wari Januarti menetapkan Randy bersalah atas pembunuhan seorang ibu dan anaknya, yang bernama Astrid Manafe dan Lael Maccabe pada 28 Agustus 2021.
Mengutip Antara, Majelis Hakim menyatakan ia bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan melakukan kekerasan terhadap anak hingga mengakibatkan kematian. Putusan ini mengabulkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang sebelumnya mendakwa Randy dengan hukuman mati.