Pernikahan dalam agama Islam memiliki banyak keutamaan. Namun, ternyata terdapat hukum menikah dalam Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan hukum menikah dalam Islam itu didasarkan pada kondisi setiap muslimin dan muslimah. Oleh sebab itu, setiap orang wajib memahami hukum pernikahan ini sebelum memutuskan menikah dan menyuruh orang lain menikah.
Berkaitan dengan itu, menarik membahas lebih lanjut terkait hukum pernikahan dalam Islam. Simak ulasan di bawah ini untuk mengetahuinya lebih lengkap.
Dalil Menikah dalam Islam
Pernikahan dalam agama Islam merupakan ibadah yang dianjurkan dan dibanggakan oleh Rasulullah SAW. Hal selaras dengan hadis yang memuatnya yakni sebagai berikut:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Menikahlah kalian dengan perempuan yang paling dicintai dan paling banyak memberi keturunan. Sebab, aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian atas umat-umat lain pada hari Kiamat,” (HR Ahmad).
Selain itu, Allah SWT juga telah menciptakan manusia berpasangan. Pasangan ini menjadi sahabat menjalani hidup yang setara. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS An-Nisa ayat 1:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
Artinya, "Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya..." (QS An-Nisa: 1).
Meski demikian, terdapat aspek dan hukum menikah dalam Islam yang wajib diperhatikan. Hukumnya pun berbeda-beda dan ini selaras dengan penjelasan Sa’id Musthafa Al Khin dan Musthafa al Bugha, Al Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syafi’I yakni sebagai berikut:
حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص
Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Mustafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).
Hukum Menikah dalam Islam
Hukum pernikahan dalam Islam dibedakan menjadi lima. Setelah memahami hakikat menikah, keutamaannya dan perbedaan hukum antar masing-masing orang, berikut ini penjelasan masing-masing hukum tersebut:
1. Sunnah
Hukum menikah dalam Islam menjadi sunnah adalah bagi seseorang yang mampu melaksanakannya. Sunnah ini menjadi pahala jika dilakukan dan sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut:
“Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya”. (HR Al-Bukhari).
2. Sunnah untuk Ditinggalkan
Hukum menikah dalam Islam selain sunnah dilakukan adalah sunnah untuk ditinggalkan. Hukum ini berlaku jika seseorang ingin menikah tetapi tidak memiliki harta benda untuk menafkahi istri dan biaya kehidupan berkeluarga.
Jika demikian maka seorang muslim hendaknya sibuk mencari nafkah, berpuasa, beribadah hingga Allah SWT memberinya rejeki yang cukup dan mental yang siap untuk menikah. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT berupa Surat An-Nur ayat 33:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ
Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya”.
3. Makruh
Hukum menikah dalam Islam lainnya adalah makruh. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak mau menikah. Alasan tidak mau menikah beragam yakni karena wataknya demikian maupun karena penyakit yang dideritanya.
Selain itu, jika ia tidak mampu menafkahi keluarganya dan jika dipaksakan menikah, maka hak dan kewajiban dalam pernikahan dikhawatirkan tidak tertunaikan.
4. Lebih Utama Tidak Menikah
Hukum menikah dalam Islam berikutnya adalah lebih utama untuk tidak menikah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya mampu menafkahi istri dan keluarganya, tetapi tidak dalam kondisi membutuhkan pernikahan karena memang sibuk menuntut ilmu atau yang lain sebagainya.
5. Lebih Utama Jika Menikah
Hukum menikah dalam Islam yang selanjutnya adalah lebih utama jika seorang muslim menikah. Hukum ini berlaku jika seseorang mampu menafkahi istri beserta keluarganya dan tidak sedang sibuk menuntut ilmu maupun beribadah.
Hukum Menikah dalam Islam Bagi Seseorang yang Berselingkuh
Adapun, hukum menikah bagi orang yang berselingkuh. Dalam agama Islam upaya yang merusak rumah tangga orang lain adalah haram dan termasuk dosa besar. Sebuah hadis menyampaikan:
وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا -رواه النسائي
“Dan barangsiapa yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya maka ia bukan termasuk dari golongan kami”. (H.R. an-Nasa'i).
Adapun, jika keduanya bercerai dan perempuan menikah dengan lelaki selingkuhannya, maka ada dampak hukum pernikahan mereka. Contohnya jika ada lelaki yang merusak hubungan orang lain kemudian orang tersebut bercerai dan lelaki itu menikahi istri tersebut, maka pernikahannya harus dibatalkan meski selesai masa iddah dan terjadi akad nikah. Pasalnya ada kerusakan akad nikah.
Namun ada pandangan lain, bahwa keharaman itu tidak terjadi selamanya. Menurut Madzhab Hanafi dan Syafii, pihak yang merusak adalah orang yang fasik dan tindakannya adalah maksiat paling mungkar dan dosa paling keji.
Itulah penjelasan hukum menikah dalam Islam yang perlu diperhatikan. selanjutnya dapat diketahui, setiap orang memiliki hukum menikah dalam Islam yang berbeda-beda. Hal ini dibedakan berdasarkan keadaannya, tujuan hidupnya, dan kemampuannya.