Persaingan bisnis menara telekomunikasi mengerucut pada dua pemain besar: Sarana Menara (TOWR) dan Tower Bersama (TBIG). Berbagai aksi korporasi dilakukan kedua emiten ini untuk menjadi yang terdepan. Emiten mana yang lebih unggul?
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
24 April 2018, 17.36

Pemanfaatan teknologi informasi yang ditopang oleh jaringan telekomunikasi dan internet meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini turut mengembangkan bisnis menara telekomunikasi. Meski ada sejumlah pelaku berkecimpung di bisnis ini, kepemilikan aset dan pasarnya terpusat hanya pada dua perusahaan.

Setidaknya ada tujuh perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) di sektor menara telekomunikasi.  Mereka adalah PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR), PT Bali Towerindo Sentra Tbk (BALI), dan PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT). Selain itu, ada PT LCK Global Kedaton Tbk (LCKM), dan PT Gihon Telekomunikasi Indonesia Tbk (GHON).

Dua dari tujuh perusahaan tersebut merupakan emiten baru di bursa. LCKM dan GHON mencatatkan sahamnya di BEI pada tahun ini melalui penawaran saham perdana ke publik atau Initial Public Offering (IPO).

Berdasarkan kapitalisasi pasar, nilai TOWR dan TBIG paling besar, yaitu masing-masing Rp 34,38 triliun dan Rp 25,72 triliun. Selanjutnya SUPR, CENT, dan BALI dengan nilai berturut-turut Rp 7,74 triliun, Rp 3,52 triliun, dan Rp 5,74 triliun.  Sedangkan dua emiten baru LCKM dan GHON hanya memiliki kapitalisasi pasar di bawah Rp 1 triliun.

Nilai kapitalisasi pasar (market cap) menunjukkan kapasitas perusahaan. Suatu perusahaan dengan market cap besar biasanya menjadi unggulan dan motor penggerak di sektornya. Namun, “kebesaran” suatu perusahaan itu tidak serta merta menunjukkan bagus atau tidaknya kinerjanya.

Potensi nilai saham TOWR dan TBIG membesar di masa depan juga masih terbuka lebar. Indikasinya, Price Earning Ratio (PER) dua perusahaan ini lebih kecil dibandingkan perusahaan-perusahan lain di sektornya, yaitu masing-masing 16,36 kali dan 11,11 kali. Sedangkan PER emiten lain sudah berkisar 20 kali hingga 40-an kali. Bahkan, BALI mempunyai PER tertinggi sebesar 92,94 kali.

Rasio PER menjadi salah satu indikator untuk mengukur valuasi harga saham suatu perusahaan, yaitu membandingkan harga saham dengan laba bersih perusahaan yang bersangkutan. Semakin besar PER maka harga sahamnya lebih mahal. Sedangkan jika PER negatif menandakan perusahaan itu masih mencatatkan kerugian.

Dengan nilai kapitalisasi dan valuasi saham tersebut, TOWR dan TBIG menjadi pemain utama dan acuan investor saham untuk sektor infrastruktur telekomunikasi, khususnya menara telekomunikasi. Lalu, bagaimana perbandingan kedua perusahaan dari sisi kinerja keuangan dan ekspansi bisnisnya untuk bersaing menjadi yang terdepan di sektor itu?

Kinerja Keuangan

Sejalan dengan market cap yang lebih besar, secara posisi keuangan TOWR tergolong lebih baik dibandingkan TBIG. Meski dari sisi aset, TBIG lebih unggul dengan Rp 25,5 triliun sedangkan TOWR hanya Rp 18,7 triliun.

Namun, dari sisi modal dan kewajiban, TBIG memiliki total ekuitas sebesar Rp 3 triliun dan liabilitas Rp 22,4 triliun. Bandingkan dengan TOWR yang memiliki ekuitas lebih besar yakni Rp 7,1 triliun dan kewajiban lebih kecil sebesar Rp 11,6 triliun.

Performa ini sejalan dengan perbandingan utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) di antara kedua perusahaan. TBIG mempunyai DER yang jauh lebih tinggi yaitu 7 kali sedangkan TOWR hanya 1,6 kali. Ini menunjukkan beban membayar utang jangka panjang terhadap  modal yang dimiliki TOWR lebih baik dibandingkan TBIG.

Sementara itu, kedua perusahaan sepanjang 2017 mencatatkan kinerja positif. TOWR unggul di sisi penjualan dan pendapatan kotor yang masing-masing Rp 5,3 triliun dan Rp 4,1 triliun. Sedangkan TBIG mencatatkan penjualan Rp 4,02 triliun dan pendapatan Rp 3,35 triliun.

Namun, dari sisi pendapatan bersih (net income) dan margin keuntungan (net profit margin), TBIG lebih besar yaitu Rp 2,3 triliun dan 57,58%. Berbeda dengan TOWR yang mencatatkan pendapatan bersih Rp 2,1 triliun dengan margin lebih kecil yakni 39,34%.

Beberapa data di atas menunjukkan bahwa secara kinerja operasional, TBIG masih lebih efektif dibandingkan dengan TOWR.

Aksi Korporasi

Demi memuluskan jalan menjadi yang terbesar di sektornya, TBIG dan TOWR terlihat agresif menggelar aksi korporasi berupa akuisisi aset dan perusahaan lain. TOWR --perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Djarum-- telah mengakuisisi 100% saham PT Komet Infra Nusantara (KIN).  Akuisisi melalui anak usahanya, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo).

Protelindo membeli 1,31 miliar saham Komet senilai Rp 1,4 triliun dari PT Telekom Infranusantara pada 22 Maret lalu. Telekom merupakan anak usaha PT Nusantara Infrastructure Tbk (META).

Tak mau kalah, TBIG --perusahaan afiliasi Grup Saratoga-- membeli saham PT Gihon Telekomunikasi Indonesia Tbk (GHON) bersamaan dengan pencatatan saham perusahaan itu di bursa, 9 April lalu. TBIG membeli 108,88 juta saham atau setara 19,8% dari total GHON.

Sebagai informasi, GHON mencatatkan pendapatan bersih pada kuartal ketiga 2017 mencapai Rp 67,8 miliar atau tumbuh 18,94%.

Jadi, TOWR atau TBIG sama-sama melakukan ekspansi dengan mengaukisisi perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bisnis yang sama. Aksi ini semakin memantapkan posisi mereka sebagai raksasa sektor menara telekomunikasi. Selain itu, menambah sengit persaingan kedua perusahaan tersebut.

Namun, saham kedua perusahaan tersebut belum menjadi primadona di mata investor, khususnya investor ritel. Buktinya, perdagangan saham TBIG dan TOWR kurang likuid. Investor pun lebih melirik saham-saham yang harga nominalnya masih rendah, seperti CENT atau LCKM.

Editor: Nazmi Haddyat Tamara