Advertisement
Analisis | Infrastruktur dan Pelayanan Publik Paling Terdampak Pemangkasan Anggaran - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Infrastruktur dan Pelayanan Publik Paling Terdampak Pemangkasan Anggaran

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Presiden Prabowo Subianto akan memangkas anggaran belanja negara hingga Rp750 triliun melalui tiga putaran. Pemangkasan itu menyasar berbagai sektor, seperti infrastruktur dan pelayanan publik, serta berpotensi mempengaruhi makroekonomi. Langkah ini demi mewujudkan program populis yang dinilai belum sepenuhnya tepat sasaran.
Muhammad Almer Sidqi
7 Maret 2025, 07.36
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terpaksa membatalkan sejumlah proyek infrastruktur. Ini menyusul pemangkasan anggaran belanja APBN 2025 yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Anggaran kementerian yang dipimpin Dody Hanggodo ini dipangkas Rp60,4 triliun atau 54,5% dari anggaran awal. Sekaligus yang terbesar dibandingkan kementerian/lembaga (K/L) lain.

Dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR, 6 Februari lalu, Menteri PU Dody Hanggodo mengatakan, sejumlah proyek yang dibatalkan mencakup pembangunan bendungan, rehabilitasi irigasi, pengendali banjir, jembatan gantung, dan perawatan jalan. Semuanya merupakan proyek penting dan beririsan langsung dengan pendanaan infrastruktur publik. 

Dengan anggaran yang ada, kementerian terpaksa memprioritaskan tiga proyek utama: satu pembangunan bendungan (dari 14 bendungan); merehabilitasi 16 ribu hektare irigasi (dari 29 ribu hektare); dan pembangunan fasilitas pengendali banjir sepanjang 11 kilometer (dari 19 kilometer). 

Sektor konstruksi merupakan salah satu kontributor Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor ini berkontribusi sekitar 10,3% sepanjang 2019-2024. Salah satunya ditopang oleh belanja modal pemerintah untuk gedung, jalan, irigasi, dan jaringan. 

Menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman, pemangkasan akan menekan kontribusi belanja negara terhadap pertumbuhan PDB yang selama ini berkisar 7%-9%.

Menurut Haryo Kuncoro dan Daniel Pambudi dalam “The Economic Impact of Government Spending Cut: The Case of Indonesia” (2014), opsi pemangkasan anggaran demi stabilitas ekonomi memang kerap dilakukan di beberapa negara saat kondisi fiskalnya sedang tertekan. Opsi ini biasa dipertimbangkan selain opsi perpajakan. Kendati begitu, kebijakan ini tidak mudah untuk dilakukan dan bisa memiliki dampak berbeda-beda.

Secara makro, pemangkasan anggaran bisa sukses menurunkan rasio utang terhadap PDB jika digabungkan dengan kebijakan-kebijakan lainnya, seperti deregulasi dan reformasi pajak yang bisa meningkatkan partisipasi tenaga kerja. Akan tetapi, penelitian yang sama juga mendapati bahwa penurunan 1% belanja pemerintah bisa menurunkan 0,072% konsumsi rumah tangga, penurunan tenaga kerja 0,053%, hingga berdampak pada penurunan PDB sebesar 0,008%. 

Penurunan ini akibat beberapa sektor yang terdampak langsung karena berkurangnya belanja pemerintah. Empat sektor yang paling terdampak adalah sektor penyediaan listrik, gas, dan air, sektor konstruksi, sektor hotel dan restoran, hingga sektor layanan publik. Penurunan belanja pemerintah juga berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor layanan publik dan konstruksi.

Sesuai Inpres 1/2025, pemerintah saat ini menurunkan belanjanya hingga 8,5%. Dengan mengasumsikan dampak yang sama, pemangkasan itu bisa berkontribusi pada penurunan berbagai indikator makroekonomi yang semakin dalam. Apalagi jika pemangkasan belanja negara menggunakan target akhir Rp750 triliun seperti yang ditetapkan Presiden.

Selain itu, dalam konteks sekarang, ketika konsumsi rumah tangga sedang tertekan, kelas menengah yang kian menyusut, dan kondisi global yang berpotensi berdampak pada Indonesia, pertumbuhan ekonomi bisa saja lebih terpukul dari kondisi satu dekade yang lalu saat studi itu dilakukan.

Pelayanan Publik Tersandera 

Proyek pelayanan publik dengan skala lebih kecil seperti berbagai program kerja di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) juga ikut terdampak. Dengan disunatnya anggaran Perpusnas sebesar Rp279,9 miliar atau 38,8%, lembaga ini terpaksa menurunkan target kerjanya. Apalagi, anggaran Perpusnas bahkan dicukur di atas persentase rata-rata.

Program alih aksara naskah kuno Nusantara, misalnya, yang awalnya mencakup 80 naskah menjadi 17 naskah. Selain itu, ada pula program pengembangan perpustakaan umum yang hendak menyasar 10.034 perpustakaan hanya menjadi 2.107 perpustakaan. Itu sama saja luruh hingga sekitar 79%.

Selain Perpusnas, sebanyak tiga program sigi BPS juga terpaksa tak bisa dieksekusi. Dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI, 13 Februari 2025, BPS menyatakan pemangkasan ini mempengaruhi persiapan Sensus Ekonomi 2026 yang membutuhkan anggaran Rp828,26 miliar. 

Satu lagi lembaga yang terdampak efisiensi tetapi bermanfaat untuk hajat hidup orang banyak adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pemotongan pagu anggaran BMKG diketok sebesar Rp1,04 triliun atau sekitar 36,97%.

Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Muslihuddin, mengungkapkan efisiensi ini berdampak pada alat operasional utama yang terancam mati karena kemampuan untuk pemeliharaan berkurang sekitar 71%, sehingga observasi dan kemampuan mendeteksi dinamika cuaca, iklim, kualitas udara, gempa bumi, dan tsunami juga terganggu.

Demi Pertahankan Program Populis

Sebelum akhirnya dianggarkan Rp71 triliun dalam APBN 2025, program Makan Bergizi Gratis (MBG) beberapa kali mengalami perubahan rencana anggaran. Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran awalnya menyebut program yang sebelumnya dinamakan “Makan Siang Gratis” ini akan menelan biaya Rp450 triliun hingga 2029. Pada tahun pertama pelaksanaannya, anggarannya diproyeksi Rp120 triliun.

 

Namun, setelah MBG dijalankan mulai 6 Januari lalu, Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyebut anggaran Rp71 triliun tidak cukup dan hanya bisa untuk pelaksanaan sampai Juni 2025. “Perlu anggaran Rp420 triliun,” kata Zulkifli Hasan, 7 Januari lalu.

Salah satu sebab besarnya anggaran MBG karena Prabowo hendak menyasar semua anak sekolah, balita, dan ibu hamil alih-alih membidik target yang lebih terarah, khususnya bagi kelompok rentan. 

Center of Economic and Law Studies (Celios) sebaliknya menilai MBG akan lebih efektif, termasuk secara anggaran, jika hanya menyasar anak-anak di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), keluarga miskin, serta balita dan ibu hamil yang membutuhkan dukungan gizi. 

Dengan skema yang dirancang pemerintah sejauh ini, Celios menghitung MBG tidak akan tepat sasaran dan menyebabkan pemborosan fiskal yang besar. Karena itulah Prabowo harus repot-repot melakukan pemangkasan anggaran. 

Menurut perhitungan Celios, jika anggaran MBG difokuskan pada tiga kelompok prioritas penerima manfaat ini, pemerintah hanya memerlukan anggaran Rp117,93 triliun. Pemerintah, dengan begitu, tidak harus mengalokasikan Rp171 triliun atau bahkan Rp306,7 triliun dari pemangkasan anggaran.

Analisis makroekonomi kuartal I-2025 oleh LPEM UI menyebut bahwa program MBG memang dapat meringankan tekanan fiskal orang tua dalam menyediakan makan harian bagi anak.

Dengan Rp10.000 per porsi dan dijalankan setiap hari sekolah atau 20 hari sebulan, setiap anak diasumsikan mendapat sekitar Rp200.000 per bulan untuk makan. Nilai ini setara 34% dari garis kemiskinan individu (Rp589.932 per Maret 2024). “Bagi sebuah keluarga beranggotakan empat orang dengan dua anak, bantuan itu berkontribusi sekitar 17,12% terhadap garis kemiskinan rumah tangga yang bernilai Rp2,3 juta,” tulis riset LPEM UI.

Pemerintah menyebut MBG bakal menyerap 820 ribu tenaga kerja, menggerakan potensi ekonomi pedesaan, hingga memberdayakan UMKM, yang semuanya itu diperkirakan mampu menambah 0,1% pertumbuhan ekonomi nasional.

Kendati begitu, meski menyerap anggaran jumbo hingga triliunan rupiah, program MBG tidak lantas bisa menjadi solusi tunggal persoalan struktural pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di Indonesia. Menurut LPEM UI, pemerintah saat ini bahkan belum terlihat memiliki strategi yang cukup jelas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 8%.

LPEM UI pun memandang pemangkasan belanja yang terjadi sekarang tidak muncul dari inisiatif yang terencana dengan baik. “Dan cenderung bersifat reaktif dalam mengakomodasi berbagai program pemerintahan baru yang butuh anggaran besar,” tulis LPEM UI.

Editor: Aria W. Yudhistira