PT Freeport Indonesia (PTFI) sedang ditimpa kemalangan beruntun. Fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga miliknya di kawasan Java Integrated Industrial and Port Estate di Manyar, Gresik, Jawa Timur, yang baru beroperasi lima bulan, dilalap api pada 14 Oktober 2024 lalu.
Kebakaran itu menyebabkan infrastruktur produksi asam sulfat yang diperlukan untuk melebur tembaga rusak. Dampaknya, proses produksi katoda tembaga di smelter single line yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia itu macet.
Smelter yang dibangun dengan dana Rp56 triliun di atas lahan seluas 100 hektare itu juga merupakan bagian penting dari perjanjian divestasi saham PTFI kepada Pemerintah Indonesia melalui Mining Industry Indonesia (MIND ID), BUMN holding pertambangan Indonesia.
Akibat kebakaran, smelter itu pun ditaksir baru dapat beroperasi pada akhir Juni tahun ini. Hal itu diungkapkan langsung oleh Vice President Corporate Communications PT Freeport Indonesia Katri Krisnati kepada Katadata.co.id pada Jumat, 3 Januari lalu.
“Hal ini akan berdampak pada kapasitas penyimpanan konsentrat kami, baik di Pelabuhan Amamapare maupun di smelter PTFI yang akan penuh dalam beberapa waktu ke depan,” ujarnya.
Katri menambahkan PTFI tengah melobi pemerintah agar diizinkan mengekspor konsentrat tembaga sampai Smelter Manyar pulih. “Ini untuk mempertahankan tingkat operasi produksi penambangan dan pengolahan serta kontribusi keuangan PTFI kepada negara,” ujarnya.
Tembaga memang punya andil paling besar dalam pendapatan PTFI. Dari rata-rata pendapatan PTFI sejak 2021 yang berkisar Rp129,76 triliun, pendapatan tembaga berkisar Rp78,58 triliun. Itu berarti sekitar 60% dari total pendapatan.
Adapun rata-rata laba yang dicetak PTFI mencapai US$3,07 miliar atau setara Rp45,43 triliun sejak 2021. Per September 2024, menurut laporan keuangan perusahaan itu, laba tahun berjalan PTFI senilai US$3,37 miliar.
Kinerja keuangan yang moncer itu sejalan dengan produktivitas PTFI yang juga meningkat. Selama empat tahun terakhir, PTFI rata-rata memproduksi 1,48 miliar pon tembaga.
Jumlah tertingginya dicetak pada 2022 dan 2023 dengan total produksi tembaga masing-masing 1,56 dan 1,66 miliar pon. Pada 2024 pun terjadi peningkatan signifikan; PTFI berhasil memproduksi 1,37 miliar pon hanya dalam waktu sembilan bulan.
Namun, selain didera kebakaran smelter, PTFI juga terimpit kebijakan pelarangan ekspor konsentrat tembaga yang persis diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Dua persoalan itu membikin anak perusahaan Freeport-McMoRan ini mati langkah karena izin ekspornya berakhir setelah berganti tahun.
Pelarangan ekspor termaktub di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Barang yang Dilarang Ekspor. Beleid itu menopang pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Penyelesaian Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri yang ditetapkan pada 29 Mei 2024 lalu.
Selama ini, selain katoda, konsentrat tembaga juga menjadi andalan PTFI untuk diekspor. Pada 2022 dan 2023, dengan menambang rata-rata lebih dari 190 ribu metrik ton bijih tembaga per hari, PTFI selalu memproduksi sedikitnya 3 juta ton konsentrat berkadar 25% Cu per tahun.
Pada Juni 2024 lalu, Wakil Presiden Direktur Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi mengungkapkan, PTFI memproyeksikan produksi konsentrat tembaga sebanyak 2,8 juta ton hingga akhir 2024. Itu pun dengan asumsi bahwa pemerintah benar-benar melarang ekspor konsentrat pada 2025. Jika keran ekspor berlanjut, PTFI mengaku sanggup memproduksi 3,7 juta ton konsentrat.
Smelter Manyar bekerja dengan mengolah konsentrat tembaga yang ditambang PTFI di Mimika, Papua Tengah. Dalam setahun, smelter itu bisa menampung 1,7 juta ton konsentrat dan disebut-sebut bisa menghasilkan sekitar 650 ribu ton lempeng katoda ukuran 1 x 1 meter berkadar 99,99% Cu.
Smelter itu juga menjadi pelengkap dari fasilitas smelter PT Smelting yang 65% sahamnya dimiliki PTFI. Smelter yang sudah beroperasi sejak 1996 itu baru ditingkatkan kapasitasnya 30% sehingga bisa menampung 1,3 juta ton konsentrat dan menghasilkan sekitar 350 ribu ton katoda per tahun.
Jika kinerjanya digabung, kedua smelter itu mampu mengolah total konsentrat tembaga hingga 3 juta ton dan menghasilkan sekitar 1 juta ton katoda per tahun.
Jumlah itu seharusnya bisa mengerek angka produksi katoda Indonesia hingga dua kali lipat, dan sukses menciptakan nilai tambah seperti yang didambakan pemerintah. Namun, hitung-hitungan itu belum terwujud lantaran musibah yang menimpa Smelter Manyar.
Dengan kata lain, jika Smelter Manyar gagal memproduksi 650 ribu ton katoda murni per tahun, plus dengan rata-rata harga jual tembaga yang sebesar US$4,05 per pon, PTFI terancam kehilangan US$2,63 miliar atau Rp42,12 triliun (kurs Rp16.000) selama semester I-2025.
Adapun jika menghitung rata-rata pendapatan tembaga selama empat tahun terakhir yang sebesar Rp78,58 triliun, pendapatan tembaga PTFI bisa saja tergerus hingga Rp19,64 triliun sepanjang semester pertama. Jumlah ini setara 15% dari total pendapatan PTFI yang berkisar Rp129,76 triliun tiap tahun.
Hasil itu dihitung dari jumlah konsentrat PTFI yang mungkin “menganggur” akibat tak bisa diekspor atau digarap dari total konsentrat yang diproduksi sepanjang paruh pertama 2025.
Masalahnya, PTFI juga tak bisa menahan laju aktivitas pertambangan mereka demi menekan jumlah bijih dan konsentrat tembaga agar tak menumpuk.
PTFI menggunakan metode block caving di dalam operasional tambang bawah tanah yang membiarkan bijih-bijih tembaga berukuran besar luruh karena gravitasi. Bijih-bijih itu kemudian dihimpun dan dibawa ke pabrik pengolahan untuk dijadikan konsentrat.
Kalau aktivitas tambang berhenti, akan terjadi akumulasi tegangan di dalam tanah yang akhirnya merusak infrastruktur yang sudah ada. Imbasnya, pembangunan akses harus dimulai lagi dari awal. Metode itu mau tak mau memaksa PTFI terus beroperasi setiap hari.
Di sisi lain, pada Maret 2024 lalu, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengatakan Indonesia bakal rugi sekitar Rp30 triliun jika relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga tak diperpanjang. Waktu itu Tony sedang melobi pemerintah untuk memperpanjang relaksasi ekspor konsentrat PTFI lantaran Smelter Manyar baru akan beroperasi penuh pada Desember 2024.
Pada Juni 2023, pemerintah sempat melarang ekspor mineral mentah, termasuk konsentrat tembaga. Namun, relaksasi akhirnya diberikan kepada lima badan usaha pertambangan yang berhasil membangun smelter hingga di atas 50% per Januari 2023. PTFI adalah salah satunya.
Aturan perpanjangan relaksasi PTFI terbit pada 1 Juni 2024, dan perusahaan itu diizinkan melakukan ekspor hingga 2024 berakhir.
PTFI juga berkontribusi besar terhadap laba konsolidasi MIND ID. Pada 2023, MIND ID membukukan laba senilai Rp27,52 triliun. Namun, laba tinggi itu sebetulnya ditopang oleh setoran laba PTFI sebanyak Rp24,68 triliun.
Pada kuartal III-2024, dari laba konsolidasi MIND IDE senilai Rp30,43 triliun, PTFI menyetor sekitar 90%, yakni Rp27,44 triliun.
Setoran laba PTFI terus merangkak naik secara signifikan setelah divestasi pada 2018 lalu. Pada 2019, setorannya sempat minus hingga Rp576 miliar. Sepanjang 2020-2022, setoran PTFI mulai meningkat dan mencapai puncaknya pada 2023 dan September 2024.
Dalam lembar faktanya, PTFI bahkan mengklaim telah berkontribusi sebanyak US$29,3 miliar atau setara Rp468 triliun untuk keuangan negara selama 1992-2023. Jumlah itu mencakup dividen, royalti, dan berbagai jenis pajak.
Karena dua persoalan yang didera PTFI, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum Singgih Widagdo mengatakan pemerintah perlu memberikan relaksasi ekspor konsentrat tembaga khusus untuk PTFI. Sebab, menurut dia, PTFI sedang didera keadaan kahar. “Tapi harus lihat volume ekspornya agar seimbang,” ujarnya, 27 Desember 2024 lalu.
Singgih menambahkan pemerintah dan PTFI juga harus bisa memastikan kapan Smelter Manyar benar-benar rampung. “Relaksasi sambil menunggu karena proses produksi juga berjalan,” katanya.
Pengajuan relaksasi ekspor PTFI sudah sampai di tangan pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan keputusan akhir perpanjangan izin ekspor tersebut akan ditentukan setelah rapat dengan Presiden Prabowo Subianto.
Mantan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu berjanji pemerintah akan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Freeport dan negara. “Kami akan menunggu, tinggal kami laporkan kepada Bapak Presiden,” ujarnya.
Adapun Singgih sebetulnya kontra dengan berbagai jenis relaksasi ekspor mineral mentah karena akan berdampak bagi program hilirisasi di dalam negeri. Pada 2023 lalu, dia mengkritisi langkah pemerintah yang memberikan relaksasi ekspor konsentrat mineral kepada lima perusahaan tambang.
Singgih menjelaskan hilirisasi sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di dalam beleid itu, setiap badan usaha minerba sudah diwajibkan membangun smelter setelah lima tahun UU itu diundangkan.
“Banyak diberikan relaksasi ekspor, tapi tidak ada juga yang bangun smelter,” katanya. “Padahal dulu diberikan relaksasi agar perusahaan tambang punya revenue untuk membangun smelter.”
Belakangan, pemerintah merevisi UU 4/2009 menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020. Revisi itu mengatur kewajiban untuk membangun fasilitas pemurnian paling lambat pada 2023.
“Kita sedang membangun komitmen demi mengejar nilai tambah dari pemurnian menjadi alat manufaktur atau industri yang bisa terbangun, nilainya jauh lebih tinggi,” kata Singgih. “Tapi kita terlambat.”
Editor: Aria W. Yudhistira