Meski masih unggul dari pasangan Prabowo-Sandiaga, tren elektabilitas duet petahana cenderung menurun. Isu ekonomi dan pemilih milenial akan menjadi penentu menjelang hari pemilihan.
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
10 Desember 2018, 16.46
Pilpres 2019

 

Empat bulan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) pada April 2019, persaingan dua pasangan kandidat makin sengit. Sigi sejumlah lembaga survei menemukan elektabilitas pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin masih di atas duet Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, meski selisihnya cenderung semakin rapat. Sejumlah isu berperan merekatkan jarak tersebut, dan menggerus atau menambah jumlah elektabilitas masing-masing pasangan dalam empat bulan mendatang.

Berdasarkan hasil survei terbaru dari LSI Denny JA pada periode 10-19 November 2018, elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf sebesar 53,2%. Sementara kompetitornya memperoleh elektabilitas 31,2%. Sisanya, 22% responden belum menentukan suara atau tidak memberikan jawaban.

Tak jauh berbeda, hasil Media Survei Nasional (Median) yang dilakukan pada 4-16 November 2018. Elektabilitas calon presiden petahana masih teratas yaitu sebanyak 47,7%. Sedangkan elektabilitas pasangan Prabowo -Sandi mencapai 35,5% suara.

Selisih di antara kedua kandidat itu tidak lagi terpaut jauh, yaitu sekitar 12%. Bahkan, jika mempertimbangkan margin kesalahan survei tersebut sebesar pulus-minus 3%, maka bisa jadi selisihnya cuma 6%. Alhasil, dalam empat bulan tersisa sebelum hari coblosan, sangat terbuka berbagai kemungkinan: calon nomor 01 kembali menjauh, selisih makin rapat, atau calon nomor 02 makin melaju dan menyalip kandidat 01.

Di sisi lain, merujuk survei Alvara Research Center pada medio Oktober yang lalu, berdasarkan geografis, Jokowi-Ma’ruf unggul hampir di semua wilayah kecuali Pulau Sumatera. Di wilayah timur Indonesia, pasangan nomor 01 unggul jauh 77,8% berbanding 20%.

Khusus untuk Kalimantan dan Sulawesi, persaingan masih cenderung ketat karena memiliki selisih yang lebih tipis dibanding wilayah lainnya.

Isu Ekonomi Jadi Penentu

Faktor utama yang membedakan karakter pemilih Jokowi dan Prabowo adalah persepsi terhadap kondisi ekonomi. Survei LSI Denny JA menunjukkan penilaian baik-buruk ekonomi berdampak pada elektoral dan dukungan kedua capres di berbagai segmen pemilih.

Jika diuraikan berdasarkan persepsi terhadap kondisi ekonomi, responden yang menjawab ekonomi dalam keadaan sedang dan baik, 64,4% di antaranya memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf. Sedangkan yang memilih Prabowo-Sandi hanya berkisar pada 20,5%. Adapun, sisanya memilih untuk tidak menjawab.

Kondisi berbeda terjadi pada segmen pemilih yang memiliki persepsi bahwa ekonomi dalam keadaan buruk. Pasangan Prabowo-Sandi justru unggul dengan perolehan 63,9% dan Jokowi-Ma’ruf berada pada angka 25,5%.  

Dalam survei tersebut, kondisi ekonomi Indonesia masih dipersepsikan baik oleh mayoritas pemilih. Sebesar 70,3 % pemilih menilai bahwa ekonomi Indonesia dalam  kondisi sedang dan baik. Hanya sebesar 24,7 % yang menilai ekonomi Indonesia dalam kondisi buruk.

Meski begitu, isu ekonomi tetaplah menjadi salah satu penentu bagi elektoral para capres dan cawapres. Jika tren persepsi ekonomi mengarah pada kategori buruk, ini menjadi kesempatan emas bagi oposisi untuk meraih suara lebih banyak. Elektabilitas petahana pun menjadi tergerus.

Hal ini senada dengan hasil survei Median yang memotret keberhasilan dan kekurangan pemerintah selama hampir 5 tahun. Kondisi ekonomi memburuk dan keluhan harga mahal menjadi dua poin kekurangan pemerintah dengan persentase masing-masing 20,9% dan 11,5%.

Di sisi lain, pembangunan Infrastruktur dinilai sebagai keberhasilan utama pemerintah dengan perolehan 23,2% disusul oleh bantuan tepat sasaran sebesar 4,5%. Secara umum, responden pada survei ini lebih banyak menyebutkan kekurangan daripada keberhasilan pemerintah dengan perbandingan 58,5% dengan 47,6%.

Area Sengit Perebutan Suara

Selain isu-isu strategis yang menjadi penentu elektabilitas, beberapa segmen pemilih juga masih menjadi area sengit dan sama-sama berpeluang bagi kedua pasangan capres-cawapres. Beberapa segmen ini belum menunjukkan kecenderungan signifikan pada poros tertentu.

Generasi milenial menjadi salah satu area yang diperebutkan kedua pasangan. Meski secara umum Jokowi-Ma’ruf memimpin, jika dilihat berdasarkan golongan umur maka mereka hanya unggul telak pada kalangan tua. Pasangan nomor urut 01 ini mampu meraih elektabilitas lebih dari 50% pada golongan umur 40 tahun ke atas.

Kondisi berbeda terjadi pada segmen pemilih milenial yakni di bawah 30 tahun. Jokowi-Ma’ruf unggul di golongan 20-29 tahun dengan perolehan 43,9% berbanding 41,5%. Prabowo-Sandi unggul di golongan 30-39 tahun dengan perbandingan 45% dan 36,9%. Sedangkan pada umur di bawah 20 tahun, keduanya sama kuat dengan perolehan 35,7%.

Selain itu, angka undecided voters pada golongan milenial ini juga termasuk tinggi. Lebih tinggi dibandingkan golongan usia di atas 40 tahun. Mengingat banyaknya golongan milenial pada pemilu tahun depan yang mencapai 40% dari daftar pemilih, faktor ini seharusnya menjadi perhatian bagi kedua pasangan untuk berlomba mengambil suara pada segmen anak muda ini.

Selain generasi milenial, area sengit selanjutnya adalah para pemilih berdasarkan agama. Masih merujuk survei Median, pasangan petahana unggul telak pada pemilih non-muslim. Tingkat elektabilitas Jokowi-Ma’ruf mencapai 90% pada kelompok agama selain Islam. Bahkan, untuk Hindu dan Budha, hampir tidak ada yang menyatakan memilih Prabowo-Sandi.

Pada basis pemilih Islam, Jokowi-Ma’ruf masih unggul namun sangat tipis dengan perolehan 42,7% berbanding 39,1%. Sedangkan sisanya masih memilih untuk tidak menjawab atau rahasia.  Sebagai agama mayoritas, pemilih muslim memang menjadi rebutan bagi kedua pasangan.

Beragam cara dilakukan oleh kedua pasangan untuk meraup suara pemilih muslim. Jokowi yang menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin, dan Prabowo sebagai hasil Ijtima Ulama menjadi dua kekuatan yang bersaing ketat pada segmen ini.

Segmen ormas Islam juga sangat berpengaruh pada perkembangan elektabilitas jelang pemilihan. Jokowi dengan Ma’ruf Amin unggul di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan Prabowo-Sandi menang di Muhammadiyah.

Di sisi lain, aksi Reuni 212 di Jakarta yang cukup fenomenal disinyalir juga berpengaruh, khususnya menjadi penguat elektoral bagi pasangan nomor urut 02.

Petahana Belum Aman

Meski masih unggul dibanding lawannya, elektabilitas Joko Widodo sebagai petahana cenderung stagnan, bahkan trennya menurun. Survei Indikator Politik Indonesia mencatat elektabilitas Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam kurun survei Februari hingga September 2018, cenderung mengalami penurunan elektabilitas.

Survei Indikator pada Februari 2018 menunjukkan elektabilitas Jokowi sebesar 61,8%. Pada Maret 2018, angkanya menurun menjadi 60,6%. Elektabilitas Jokowi kembali melorot pada Juli 2018 sebesar 59,9% dan turun lagi 2,9% pada survei kali ini.

"Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf tinggi, tapi masih termasuk kategori belum aman mengingat pilpres masih tujuh bulan lagi," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, September lalu.

Sebagai perbandingan, merujuk data agregat dari LSI dan SMRC, elektabilitas Jokowi pada September 2018 secara top of mind masih lebih baik dibanding Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada September 2008. Namun, kondisi SBY saat itu memiliki tren meningkat seiring mendekati pemilihan presiden pada Juli 2019.

Selain itu, jika dibandingkan hasil pilpres 2009, pasangan SBY-Boediono sebagai petahana mampu unggul di atas 60% dibandingkan lawannya Megawati-Prabowo. Angka 60% dinilai menjadi batas aman untuk mengamankan elektabilitas jelang hari H pemilihan khususnya bagi petahana.

***


Editor: Nazmi Haddyat Tamara