Neraca dagang Indonesia masih tergantung sektor komoditas. Di saat harga komoditas turun tahun lalu, neraca dagang mengalami defisit terdalam akibat menipisnya surplus perdagangan nonmigas. Apa faktor utama penyebabnya?
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
21 Januari 2019, 18.32
Pelabuhan

 

Tahun 2018 meninggalkan satu catatan minus perekonomian bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Defisit neraca perdagangan memuncak hingga mencapai minus US$ $ 8,57 miliar di akhir tahun, yang merupakan rekor terburuk sepanjang sejarah. Surplus neraca dagang nonmigas kian menciut akibat membengkaknya impor, sementara ekspor melesu karena kurang ditopang industri manufaktur.   

Awal pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis neraca perdagangan tahun 2018. Nilai impor sepanjang tahun lalu sebesar US$ 188 miliar atau melonjak 20,15% dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, ekspor hanya mampu US$ 162 miliar atau hanya tumbuh 6,65%.

Tak cuma mencetak rekor terburuk, hasil ini juga memutus tren kenaikan surplus neraca dagang sejak tahun 2015. Mengacu tahun sebelumnya, neraca dagang surplus US$ 11,8 miliar: nilai ekspor US$ 168,8 miliar dan impor US$ 156,9 miliar.

Sejarah defisit perdagangan terbesar sebelumnya terjadi pada 2013 dengan nilai US$ 4,08 miliar. Defisit juga terjadi tahun 2012 dan 2014 dengan nilai masing-masing US$ 1,7 miliar dan US$ 2,2 miliar.

Sedangkan sejak awal kemerdekaan, sempat terjadi defisit pada 1945 sampai 1975. Meski nilainya tidak terlalu besar dengan capaian tertinggi pada 1975 sekitar US$ 391 juta.  

Momok Berat Defisit Migas

Salah satu penyebab besarnya defisit tahun lalu adalah neraca dagang minyak dan gas (migas). Kebutuhan minyak yang besar memaksa Indonesia harus membayar impor hingga US$ 29,8 miliar. Sedangkan ekspor hanya mampu membukukan US$ 17,4 miliar. Alhasil, perdagangan migas mencatatkan defisit US$ 12,4 miliar atau melonjak 45% dibandingkan tahun sebelumnya.

Defisit di bidang migas bukan hal yang baru, bahkan sudah berlangsung setidaknya sejak tujuh tahun lalu. Indonesia sudah menjadi net importir migas pada 2012. Bahkan, setahun berselang defisit minyak (minyak mentah dan BBM) mencapai rekor tertinggi senilai US$ 27,6 miliar.

Jika dilihat lebih detail, tekornya neraca migas disebabkan impor minyak mentah dan hasil minyak yang mencapai US$ 26,6 miliar atau hampir 90% dari impor migas secara keseluruhan. Secara agregat, defisit minyak (minyak mentah dan BBM) menjadi US$ 20 miliar atau membengkak hingga 37% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sedangkan untuk komoditas gas, Indonesia masih surplus US$ 7,5 miliar. Selanjutnya, ekspor komoditas pertambangan masih menjadi penolong dengan surplus US$ 15,7 miliar.

Secara umum, fluktuasi defisit migas sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Dengan kondisi kebutuhan minyak dalam negeri yang semakin meningkat, defisit di sektor migas masih sulit dihindari bahkan hingga beberapa periode ke depan.

Anjloknya Surplus Non-Migas

Penyebab lain yang juga berperan besar terhadap rekor defisit tahun lalu adalah perdagangan non-migas. Sepanjang 2018 sektor non-migas mencatatkan surplus US$ 3,8 miliar. Nilainya anjlok 81,4% dibandingkan tahun 2017  yang membukukan surplus US$ 20,4 miliar.

Merosotnya surplus tersebut ditandai oleh melesatnya nilai impor yang tidak diimbangi oleh ekspor yang kuat. Total impor non-migas meningkat 19,71% sedangkan ekspor hanya tumbuh 6,25%.  Tak seperti pada 2013, saat itu ekspor non-migas justru menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Menggeliatnya pembangunan dan investasi pada tahun 2018 memaksa Indonesia harus mengimpor barang-barang sebagai penunjang bahan baku. Besi, baja, mesin dan peralatan listrik menjadi barang yang mendominasi impor non-migas. Barang tersebut sejalan dengan program prioritas pemerintah untuk memacu proyek-proyek infrastruktur.

Di sisi lain, ekspor non-migas tertekan karena harga minyak sawit mentah (CPO) dunia maish rendah. Selain itu, penurunan harga batu bara selama beberapa bulan terakhir tahun lalu turut menggerus pertumbuhan ekspor non-migas. Alhasil, ekspor tak mampu jadi juru selamat neraca nonmigas Indonesia.

Penyebab Utama Defisit

Terlihat sekilas, penyebab melebarnya defisit adalah neraca migas yang minus US$ 12,4 miliar, sedangkan nonmigas cuma membukukan surplus US$ 3,8 miliar. Namun, jika ditelisik lebih dalam, penyebab dominan lainnya adalah surplus nonmigas yang makin menciut.

Sebagai negara importir minyak dan eksportir komoditas batubara dan sawit, Indonesia sangat bergantung pada harga minyak dan komoditas dunia. Secara volume, impor migas menurun 2,49%, namun karena harga minyak naik, nilai impornya ikut meningkat sebesar 22,59%.

Yang menarik, tahun lalu harga minyak dalam tren kenaikan namun tidak diikuti oleh komoditas batu bara dan CPO. Inilah yang menyebabkan kebutuhan impor semakin besar namun keluaran ekspor tak mampu mengimbangi.

Bergeser pada sektor non-migas, Ekonom Senior FEB UI, Faisal Basri menyorot laju kenaikan impor nonmigas yang terlalu tinggi. "Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari kisaran 5 persen sehingga tidak ada alasan kuat impor melonjak," katanya, mengutip dari tulisan di dalam laman blognya, Rabu (16/1).

Hal lain yang menjadi masalah dalam perdagangan adalah menurunnya produksi dalam negeri, terutama sektor industri. Secara umum, porsi impor berdasarkan tujuan penggunaan barang, 90% impor berupa bahan baku dan barang modal. Sedangkan sisanya untuk barang konsumsi.

Namun, ekspor golongan industri pengolahan justru turun menjadi 72,16% dibanding tahun 2017 yang mencapai 74,1%. Center of Reform on Economics (CORE) menyatakan tingginya peningkatan permintaan belum mampu diimbangi dengan produksi dalam negeri.

Pemerintah sebenarnya sudah berupaya menyiasati performa ekspor dan impor yang tak seimbang tersebut. Kebijakan diversifikasi produk ekspor, penerapan B20, hingga pengaturan pajak impor diharapkan menjadi solusi agar neraca dagang bisa membaik.

Pengembangan industri manufaktur juga berperan penting mengurangi ketergantungan ekspor pada sektor komoditas. Selain meningkatkan kualitas produk dalam negeri, hal ini dapat meningkatkan daya saing produk di pasar internasional yang berujung meningkatkan nilai ekspor Indonesia.

***


Editor: Nazmi Haddyat Tamara