Pemerintah menganulir keputusan menaikkan harga BBM jenis Premium meski harga minyak dunia sempat menembus US$ 80 per barel. Sampai kapan Pertamina mampu menanggung beban keuangannya?
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
23 Oktober 2018, 16.23
Dolar rupiah

 

Langkah pemerintah menganulir keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) penugasan, yaitu jenis Premium, setidaknya dapat menjaga target indikator-indikator makroekonomi hingga masa pemilihan umum (Pemilu) tahun depan. Meski di sisi lain, keputusan itu membuat beban keuangan PT Pertamina (Persero) semakin berat. Persoalannya, sampai kapan kebijakan itu dapat dipertahankan di tengah ancaman kenaikan harga minyak mencapai US$ 100 per barel hingga akhir tahun nanti.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) sebelumnya sempat mengumumkan kenaikan harga Premium pada 10 Oktober lalu. Harga baru Premium untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) naik menjadi Rp 7.000 per liter, sedangkan di luar wilayah tersebut menjadi Rp 6.900 per liter.

Namun, keputusan itu berumur tak sampai satu jam. Menurut Kementerian ESDM, keputusan itu dianulir pemerintah atas arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada tiga pertimbangan Jokowi menunda kenaikan harga Premium.

Pertama, Presiden meminta kajian lebih lanjut terhadap perubahan harga minyak internasional. Kedua, analisis kebijakan fiskal. Ketiga, mengutamakan daya beli masyarakat agar tetap terjaga.

Tekanan kenaikan harga Premium berhulu dari tren peningkatan harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir. Pada awal Oktober lalu, harga minyak jenis Brent sudah menembus level US$ 80 per barel.

Bahkan, pada September lalu, harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sudah menyentuh level tertinggi sejak awal 2018 yakni US$ 74,88 per barel. Padahal, asumsi ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 hanya US$ 48 per barel.

Kondisi ini tentu semakin menekan pemerintah dan Pertamina untuk menyesuaikan harga jual minyak domestik dengan acuan harga internasional. Sebelumnya, harga BBM jenis Pertamax, Pertamina Dex atau yang tergabung dalam Perta Series sudah naik pada awal Oktober lalu seiring dengan laju harga minyak di pasar internasional.

Selain itu, tingginya harga minyak dunia juga menyebabkan defisit neraca perdagangan migas semakin lebar. Secara akumulasi untuk periode Januari-September tahun ini, neraca migas mengalami defisit US$ 9,38 miliar atau melonjak 59,5% dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 5,88 miliar.

Di sisi lain, rendahnya nilai ekspor dalam negeri juga memperparah defisit neraca perdagangan. Kondisi ini langsung berefek pada nilai tukar rupiah yang semakin anjlok. Hingga Oktober ini, nilai rupiah sudah menembus level 15.200 per dolar Amerika Serikat (AS) atau yang terburuk sejak krisis ekonomi dua dekade lalu.

Karena itulah, memang sudah sepatutnya harga Premium juga naik mengekor harga Perta Series. "Secara keekonomian, harga premium ini sudah selayaknya naik mengikuti acuan harga minyak dunia," ujar Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Pieter Abdullah kepada Katadata.co.id.

Efek Manis Penundaan

Batalnya kenaikan harga Premium diperkirakan akan meredam gejolak di masyarakat. Inflasi diharapkan dapat tetap terkendali dan daya beli masyarakat juga masih terjaga.

Setelah kembali mengalami deflasi pada September 2018, inflasi tahun kalender (Januari-September) 2018 sebesar 1,94%. Pencapaian deflasi dalam dua bulan berturut-turut membuat pemerintah semakin optimistis meraih target laju inflasi sekitar 3,5% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Pengendalian inflasi dan daya beli masyarakat ini juga bertujuan menjaga asa pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5% pada tahun ini. Jika daya beli terganggu, maka konsumsi domestik akan melemah dan berujung pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah juga mempertimbangkan kondisi masyarakat menuju momen politik tahun 2019. Kebijakan populis untuk menahan harga BBM dapat menambah citra positif bagi pemerintahan Jokowi. Menurut Ekonom Samuel Asset Management Lana Sulistyaningsih, penundaan kenaikan harga BBM ini semata-mata untuk menjaga psikologis masyarakat.

Pertimbangannya, kenaikan harga Premium berpotensi lebih besar memicu gejolak masyarakat dibandingkan jenis BBM lain. “Ada efek sosial yang sulit diprediksi, pemerintah mengambil aman pada sisi ini,” ujarnya.

Menelan Pil Pahit

Secara teknis, anggaran negara tidak lagi dialokasikan untuk menanggung subsidi harga Premium. Artinya, penundaan kenaikan harga Premium tidak berefek langsung terhadap APBN.

Sebaliknya, penundaan tersebut justru akan memperburuk kinerja keuangan Pertamina. Sebab, selisih harga beli dan jual Premium sepenuhnya ditanggung oleh Pertamina sesuai dengan penugasan dari pemerintah.

Lembaga pemeringkatan internasional Fitch Rating ikut menyoroti langkah pemerintah menunda kenaikan harga Premium. Fitch menilai peringkat kredit Pertamina terancam memburuk jika tidak ada perubahan dari sisi kebijakannya.

Berdasarkan hitungan Fitch, EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi Pertamina sepanjang tahun ini akan turun di bawah US$ 6 miliar. Padahal, tahun lalu bisa mencapai US$ 6,9 miliar. Penurunan itu karena pemerintah menahan kenaikan harga Solar dan Premium di saat harga minyak terus meningkat.

Adapun, laba bersih Pertamina tahun 2017 sebesar US$ 2,5 miliar. Jumlah tersebut turun dari tahun sebelumnya yang mencapai US$ 3,1 miliar. Sedangkan tahun ini, target laba bersih Pertamina masih sama dengan realisasi tahun 2017.

Direktur Keuangan Pertamina Pahala Nugraha Mansury masih optimistis perusahaannya tahun ini tetap mencetak laba. Meskipun, jumlahnya ditaksir lebih rendah daripada tahun lalu. “Tentunya berkurang, tapi kami masih akan membukukan laba sampai akhir tahun.”

Dalam keterangan tertulisnya, Fitch melihat kebijakan menunda kenaikan harga Solar dan Premium akan menekan profitabilitas Pertamina dalam 12 bulan ke depan. Sebab, perusahaan pelat merah itu bakal menderita kerugian secara terus-menerus dalam penjualan BBM. Apalagi, dengan semakin dekatnya waktu pemilihan presiden pada April 2019, pemerintah akan semakin kesulitan menaikkan harga BBM.

Jika tidak ada perubahan kebijakan, kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan Pertamina untuk membayar utang. “Profil kredit Pertamina dari 'BBB-' dapat melemah jika tidak ada peningkatan profitabilitas hilir,” tulis Fitch dalam dari siaran persnya, Selasa (16/10).

Harga Minyak US$ 100

Merujuk riset DBS Group Research, beberapa indikator ekonomi Indonesia diproyeksikan akan meleset dari target jika harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel. Kebijakan populis pemerintah menahan harga BBM justru akan memperburuk ekonomi dalam negeri.

Indikator 2019
Target Harga Minyak US$ 100
Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,2 4,9
Inflasi (%) 4,0 4,3
Defisit Transaksi Berjalan (%)
-2,6 -3,1
Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) 15.250
16.500
Sumber: DBS Research

Jika harga minyak dunia menembus US$ 100, diperkirakan defisit transaksi berjalan akan semakin melebar akibat neraca perdagangan migas yang selalu tekor. Selanjutnya, pelemahan nilai tukar rupiah juga bisa mencapai 16.500 per dolar AS. Skenario seperti ini diperkirakan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tidak akan sampai 5%.

Dengan tren harga minyak dunia yang cenderung naik dalam waktu panjang, pemerintah akhirnya tetap perlu menyesuaikan harga BBM. Kebijakan itu tidak hanya untuk menyehatkan keuangan Pertamina, tapi juga berguna untuk mencapai target berbagai indikator makroekonomi Indonesia.

***


Editor: Nazmi Haddyat Tamara