Dalam rentang waktu 110 tahun, mayoritas kematian ibu melahirkan di Indonesia disebabkan oleh faktor itu-itu saja, yakni tekanan darah meningkat.
Author's Photo
Oleh Tika Widyaningtyas
4 Juni 2018, 12.09

Ketika perempuan ibukota meneriakkan kebebasan berbusana, dua “Kartini” mati setiap jamnya karena tak punya kebebasan memilih cara bersalin. Perempuan-perempuan ini mati seperti Raden Ajeng Kartini, berjuang melahirkan seorang generasi lalu mangkat sebelum sempat merawat. Setiap tahun dari satu Hari Kartini ke Hari Kartini berikutnya, 20 ribu “Kartini” Indonesia meninggal akibat komplikasi dalam persalinan. Ironisnya, tak banyak orang peduli meskipun belum ada perubahan berarti sejak seabad lalu. Tak mengherankan bila akhirnya Indonesia harus diganjar rapor merah dalam laporan evaluasi Millenium Development Goals (MDGs).

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1990 ada 390 perempuan meninggal dunia di setiap 100 ribu kelahiran di Indonesia. Angka tersebut turun perlahan hingga 305 pada 2015 (lihat grafik di bawah).

Target MDGs 2015 untuk angka kematian Ibu adalah menurunkan rasio hingga tiga perempat dari angka 1990, sekitar 110 kematian ibu di setiap 100 ribu kelahiran. Padahal sampai sekarang Indonesia masih berkutat di atas angka 305. Sebagai perbandingan, Malaysia telah menurunkan AKI hingga 45 persen dalam 20 tahun terakhir, begitu pun angka kematian ibu di dunia.

AKI menurut WHO dihitung dari kematian perempuan yang terjadi selama hamil atau 42 hari setelah berakhirnya kehamilan akibat semua sebab yang terkait atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya. AKI bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera.

Peter Stalker dalam laporan bertajuk “Mari Kita Suarakan MDGs” memaparkan, seorang perempuan yang memutuskan untuk mempunyai empat anak memiliki kemungkinan meninggal akibat kehamilannya sebesar 1,2%. “Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil,” ujarnya. Satu survei di Ciamis, Jawa Barat, misalnya, menunjukkan bahwa rasio tersebut sebesar 561.

Belajar dari Kematian Kartini

Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, empat hari usai melahirkan anak pertamanya. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Ardiansjah Dara dalam laporan CNN Indonesia mengungkapkan, "Kartini meninggal setelah melahirkan. Penyebabnya preeklampsia. Tekanan darahnya naik dan sempat kejang."

Ironisnya 110 tahun kemudian tekanan darah tinggi dan pendarahan masih tercatat di Direktorat Kesehatan Ibu Kementrian Kesehatan sebagai penyebab kematian satu dari dua ibu di Indonesia. Dalam rentang waktu yang sama mayoritas kematian ibu yang melahirkan di Indonesia disebabkan oleh faktor itu-itu saja--- preeklampsia, meskipun pedati sudah tergantikan kereta super cepat dan tinta pena tergantikan aplikasi pesan instan (lihat grafik di bawah).

Di dunia kebidanan, penyebab kematian ibu dirumuskan sebagai 4 Terlalu 3 Terlambat, yaitu:

  • Terlalu muda (<20 tahun)
  • Terlalu tua (>35 tahun)
  • Terlalu sering atau banyak anaknya  (>3 anak)
  • Terlalu dekat jarak kelahirannya (< 2 tahun)
  • Terlambat mengambil keputusan
  • Terlambat sampai di fasilitas kesehatan
  • Terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat, karena sudah terlambat sampai sehingga dalam penanganannya pun terlambat juga.

Yodi Christiani, dokter yang membidangi kesehatan ibu dan anak dari USAID Jalin menjelaskan kematian akibat terlambat mengambil keputusan bisa disebabkan oleh ketidaksetaraan gender dalam rumah tangga. Hal ini memposisikan perempuan sebagai subordinate dalam pengambilan keputusan meskipun persalinan merupakan peristiwa kesehatan besar yang mempertaruhkan nyawanya. Belum lagi masalah infrastruktur, sistem rujukan, dan alokasi tenaga kesehatan turut berkontribusi sebagai penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia. “Tentunya kebijakan pemerintah baik sekor kesehatan maupun non-kesehatan berdampak pada hal tersebut,” katanya kepada Katadata belum lama ini.

Tetapi yang menjadi masalah utama, menurut Yodi, lebih kepada pengimplementasian kebijakan atau program tersebut di daerah, “atau pun bagaimana pemda menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat menjadi peraturan teknis di daerahnya masing-masing.”

Senada dengan penjelasan Yodi, laporan evaluasi MDGs menyebutkan bahwa pemerintah pusat sebetulnya telah melatih banyak bidan, dan mengirim mereka ke seluruh penjuru Indonesia. Namun sepertinya pemerintah daerah tidak menganggap hal tersebut sebagai prioritas, dan tidak memperkerjakan para bidan setelah berakhirnya kontrak mereka dengan Departemen Kesehatan, kata Stalker.

Perekonomian Indonesia “di Bawah” Kaki Ibu

Menyoal angka kematian perempuan khususnya ibu dan anak sejatinya lebih gawat dibanding statistik kematian umumnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Partnership for Maternal, Newborn & Child Health (PMNCH) WHO mengungkapkan kesehatan ibu dan anak bukan semata perkara hak hidup belaka, tetapi juga menyoal laba atas investasi sosial dan ekonomi di negara tersebut.

Secara umum keterkaitan antara kesehatan ibu dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terjalin di kedua arah, dengan pengaruh kesehatan ibu dan anak terhadap PDB lebih besar dibanding sebaliknya. Hal ini dibuktikan dalam studi terhadap 180 negara, termasuk Indonesia, dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dan analisis kausal Granger. “Kami menemukan bukti bahwa pengaruh PDB terhadap kesehatan ibu dan anak lebih kuat di negara berpendapatan menengah-bawah dan bawah dibanding menengah-atas dan atas,” kata Arshia Amiri dan Ulf-G Gerdtham dalam laporan studi tersebut.

Hal itu bisa jadi mencerminkan pengaruh investasi kesehatan marjinal pada kesehatan lebih kuat pada wilayah dengan PDB rendah, yaitu negara-negara yang secara umum tingkat kesehatannya masih lebih rendah.

Studi yang sama menunjukkan investasi kesehatan di negara miskin dapat meningkatkan PDB dan menurunkan kesejangan (gap) dalam hal kesehatan antara negara kaya dan negara miskin. Analisis tersebut juga mengungkapkan faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan PDB, yaitu investasi pada human capital dan infrastruktur.

Dengan kata lain, ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari keterkaitan antara PDB dan investasi kesehatan. Pertama, investasi kesehatan akan mengurangi kesenjangan tingkat kesehatan antar negara maupun antar kelompok tingkat pendapatan yang berbeda. Kedua, investasi kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah meningkatkan efisiensi bidang kesehatan pada PDB yang akan menaikkan pertumbuhan PDB sekaligus mengurangi ketimpangan pendapatan di dunia.

Senanda dengan studi tersebut, Mary Ellen Stanton dari USAID menuturkan, “Di tataran rumah tangga, kondisi ibu yang sakit menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.” Keluarga yang tidak dapat menjangkau fasilitas kesehatan akan mengajukan pinjaman dan memotong budget makan sehari-hari keluarganya.

“Ketika para perempuan memiliki pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, para ibu memiliki kekuatan lebih sebagai pembuat keputusan rumah tangga dan memprioritaskan kesejahteraan anak-anaknya,” ujar Mayra Buvinic, direktur sector group gender dan perkembangannya di World Bank. “Sebagai balasannya, anak-anak yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik dan tumbuh menjadi orang dewasa yang produktif akan membangun perekonomian dalam jangka panjang." Ini bukti bahwa perempuan sehat dapat membantu keluarganya bertahan dari krisis keuangan.

Hingga kini membicarakan angka kematian perempuan terkait kehamilan tak pernah seseksi perempuan itu sendiri. Kalaupun ada yang berkoar tentang angka kematian ibu, harus menunggu seremonial tahunan seperti hari Kartini atau hari Ibu pada Desember nanti. Entah sampai kapan bicara nyawa perempuan terbatas di acara tahunan. Gaungnya kemudian hilang bersamaan bubarnya hajatan bertema perempuan. Tidak ada tindak lanjut berarti meskipun sudah lebih dari 20 ribu “Kartini” mati tahun ini. Bahkan bukan tidak mungkin ketika tulisan ini baru selesai dibaca, dua lagi “kartini” mati. Begitu seterusnya hingga hari Kartini datang lagi.

Editor: Tika Widyaningtyas