Menilik dua kemenangan Aher di Jawa Barat, popularitas dan asal calon saja tidak cukup menjadi parameter yang akurat untuk memprediksi hasil pilgub.
Tita Adelia
Oleh Tita Adelia
14 Februari 2018, 10.44

Setelah DKI Jakarta, Pemilihan Gubernur Jawa Barat diprediksi menjadi ajang kontestasi politik yang paling riuh dan menguras sumber daya partai. Jika Jakarta dianggap sebagai barometer politik nasional sehingga mendapat sorotan luas, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) tertinggi, yaitu 32,8 juta jiwa, atau seperenam jumlah DPT nasional. Dan, seperti dua pilgub langsung sebelumnya, ada lebih dari dua pasangan calon yang berebut posisi Jabar 1.

Berdasarkan jumlah kursi DPRD, koalisi Golkar dan Demokrat yang mengusung Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi memiliki kursi terbanyak (29). Selanjutnya, Gerindra, PKS, dan PAN dengan 27 kursi mendukung Purnawirawan TNI, Sudrajat, dan Ahmad Syaikhu. Kuartet Hanura, PPP, Nasdem, dan PKB dengan modal 24 kursi mengusung Ridwan Kamil dan Uu Ruzanul Ulum. Sementara itu, PDIP dengan 20 kursi mencalonkan kadernya sendiri TB Hasanuddin yang menggandeng Anton Charliyan.

Selain jumlah DPT yang tinggi, tantangan bagi para kontestan pilgub Jabar adalah karakteristik pemilih yang sulit ditebak. Sepuluh tahun silam, duet underdog Ahmad Heryawan (Aher)-Dede Yusuf melibas dua pasangan calon yang dalam beberapa jajak pendapat lebih diunggulkan, yaitu petahana Danny Setiawan-Iwan Sulanjana dan Agum Gumelar-Nu’man Hakim. Pada pilgub 2013, setelah pisah dengan Aher, Dede Yusuf yang lebih populer dan memimpin sejumlah survey malah terpuruk di peringkat tiga.

Beberapa daerah yang dua kali berturut-turut mengantarkan kandidat PKS tersebut sebagai gubernur adalah Kabupaten Bandung Barat, Bogor, Garut, Sukabumi, Kota Bandung, Bekasi, Bogor, Cimahi, Depok, Sukabumi, dan Tasikmalaya. Namun, Aher tak pernah menang di Kabupaten Ciamis, Indramayu, Karawang, Purwakarta, Subang, dan Sumedang. Daerah-daerah tersebut condong memilih cagub berlatar belakang nasionalis. Di kabupaten dan kota lainnya, pilgub 2008 dan 2013 menghasilkan pemenang yang berbeda.

Jika melihat dua pilgub tersebut, kesimpulan sederhana yang dapat diambil adalah calon yang dianggap agamis, merupakan sosok pilihan rakyat Jabar. Ahmad Heryawan memang didukung sejumlah partai Islam dengan motor PKS. Namun, preferensi agamis tersebut tidak berlaku dalam pemilihan legislatif. Dari tiga pemilihan, 2004-2014, secara berturut Golkar, Demokrat, dan PDIP menguasai kursi DPRD Jabar. Ketiga partai tersebut juga bergantian menjadi pemenang pemilu legislatif di tingkat nasional.

Pemilu 2014 bahkan menjadi penegasan preferensi pemilih Jawa Barat terhadap partai nasionalis. Satu-satunya partai Islam yang menjadi peraih suara terbanyak di tingkat kabupaten/kota adalah PPP (Kabupaten dan Kota Tasikmalaya). Sisanya disapu oleh PDIP dan Golkar. Namun, seperti halnya preferensi terhadap sosok gubernur, pasangan calon presiden Prabowo-Hatta yang didukung Gerindra, dengan koalisi partai berplatform Islam, yaitu PKS, PAN, dan PPP, menguasai 22 dari 26 kabupaten/kota.

Walau sulit mengidentifikasi karakterisitik pemilih secara umum, hasil beberapa pemilu terdahulu setidaknya dapat mengelompokkan karakter sejumlah kantong suara di Jawa Barat. Tasikmalaya, baik kabupaten maupun kota, yang mencakup 5 persen DPT provinsi merupakan daerah dengan karakter agamis paling kuat. Baik dalam pemilu eksekutif maupun legislatif, pemenang selalu berasal dari kandidat dan partai berlatar belakang religius.

Sedangkan 10 daerah berwarna biru tua, yang mencakup 40 persen DPT, konsisten memilih sosok yang berlatar belakang agamis untuk eksekutif namun memenangkan partai nasionalis di legislatif. Daerah ini tersebar di kawasan Priangan Barat, Bandung Raya, serta Kabupaten Garut. Sementara itu, tiga daerah berwarna merah muda yakni Kabupaten Bekasi, Cianjur, dan Majalengka dalam lima tahun terakhir konsisten memilih sosok dan partai berlatar nasionalis, namun pernah memenangkan kandidat berlatar agamis di Pilgub 2008.

Adapun delapan daerah dengan karakter nasionalis paling kuat, konsisten memiliki preferensi nasionalis baik di legislatif maupun eksekutif, hanya mencakup 25 persen dari keseluruhan DPT Jawa Barat. Daerah tersebut meliputi kawasan Pantura, Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Ciamis.

Dengan karakteristik kantong-kantong suara tersebut, sulit untuk memetakan potensi suara masing-masing cagub Jabar, karena karakter satu pasangan—baik dari latar belakang maupun dukungan partai politik—dengan lainnya tidak dapat kategorikan dalam satu kelompok tertentu untuk dipertentangkan (oposisi biner), misalnya agamis dan nasionalis.

Namun, menilik dua kemenangan Aher, popularitas dan asal calon saja tidak cukup menjadi parameter yang akurat. Mantan Walikota Bandung Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar yang memimpin jajak pendapat Cyrust Network Januari lalu dengan 45,9 dan 40,9 persen bukan tidak mungkin tergusur oleh Sudrajat, calon PKS yang di survei tersebut mengantongi 5 persen. Jika Sudrajat menang, maka untuk ketiga kalinya PKS membalikkan hasil survei, sekaligus membuktikan ketangguhan mesin partai di Jawa Barat.

 ***

Tita Adelia mengisi posisi periset dalam Divisi Riset dan Data Katadata. Menempuh pendidikan magister pada jurusan komunikasi politik di University of Glasgow. 

Visualisasi data ini dibantu oleh Nazmi Haddyat Tamara, Data Analyst Katadata. 

Editor: Tita Adelia