Tingkat stunting sebagai dampak kurang gizi pada balita di Indonesia melampaui batas yang ditetapkan WHO. Kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah.
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
2 Januari 2018, 20.26

Indonesia digadang-gadang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dalam beberapa dekade mendatang. PricewaterhouseCoopers (PWC), misalnya, memprediksi ekonomi Indonesia masuk dalam lima besar dunia pada 2030, bahkan menjadi ke-4 negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2050 nanti. Jika itu terjadi, posisi Indonesia hanya akan ada di bawah Tiongkok, India dan Amerika Serikat.

Prediksi tersebut didasarkan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap stabil, dan populasi yang besar. Dari komposisi usia penduduk, pada 2030, 70 persen penduduk Indonesia berusia 15-64 tahun, atau berada dalam masa produktif. Komposisi ini disebut sebagai bonus demografi. Kelompok usia produktif inilah, yang jumlahnya diperkirakan 180 juta jiwa, yang akan menjadi motor penggerak perekonomian nasional.

Alih-alih menjadi berkah, bonus demografi terancam menjadi malapetaka karena tingginya persentase balita penderita stunting di Indonesia. Padahal, balita saat inilah yang kelak menjadi tenaga produktif tersebut.

Stunting adalah kondisi ketika balita memiliki tinggi badan dibawah rata-rata. Hal ini diakibatkan asupan gizi yang diberikan, dalam waktu yang panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.

Memang, angka stunting Indonesia menurun, dari 29 persen pada 2015 menjadi 27.6 persen tahun lalu. Adapun pada 2013, angka stunting nasional mencapai 37,2 persen. Namun, angka tersebut masih di atas batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20 persen. Persentase stunting Indonesia juga lebih tinggi dibanding sejumlah negara Asia Tenggara seperti Vietnam (23), Filipina (20), Malaysia (17), dan Thailand (16).

Berdasarkan titik sebaran, hampir seluruh provinsi, kecuali Sumatra Selatan dan Bali, memiliki persentase stunting di atas batas WHO. Adapun provinsi dengan stunting tertinggi adalah Sulawesi Barat (39,7) dan Nusa Tenggara Timur (38,7).

Dari peta tersebut, 14 provinsi memiliki tingkat stunting diatas nasional (27,6 persen). Daerah dengan stunting tertinggi berada di kawasan tengah dan timur Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Hampir semua provinsi di pulau tersebut memiliki tingkat stunting diatas rata-rata nasional. Hanya Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara yang memiliki tingkat stunting di bawah rata-rata nasional.

Stunting dan permasalahan kekurangan gizi lain yang terjadi pada balita erat kaitannya dengan kemiskinan. Stunting umumnya terjadi akibat balita kekurangan asupan penting seperti protein hewani dan nabati dan juga zat besi. Pada daerah-daerah dengan kemiskinan tinggi, seringkali ditemukan balita kekurangan gizi akibat ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan primer rumah tangga.

Grafik di atas menunjukkan daerah dengan angka stunting tinggi juga memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi atau di atas rata-rata nasional (10.64 persen). Dari 14 daerah tersebut, hanya 5 daerah yang memiliki kemiskinan dibawah nasional. Daerah tersebut adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan.  Selebihnya, 9 provinsi, memiliki tingkat kemiskinan tinggi.

Selain kemiskinan, tingkat pendidikan juga berkaitan dengan permasalahan gizi.  Minimnya pengetahuan membuat pemberian asupan gizi tidak sesuai kebutuhan. Contohnya adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya inisiasi menyusui dini (IMD). Padahal IMD menjadi langkah penting dalam memberikan gizi terbaik.

Saat ini, rata-rata nasional untuk lulusan SMA dan universitas adalah 41,17%. Hanya lima daerah yang memiliki lulusan SMA dan Universitas melampaui rata-rata nasional yaitu Sulawesi Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Dengan demikian, pada daerah stunting tinggi, masih banyak masyarakat berpendidikan di bawah SMA. Meskipun, pendidikan tinggi tak selalu menjamin kesadaran gizi yang tinggi pula.

Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan yang tercantum dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Ini sejalan dengan The Copenhagen Consensus 2012 yang mendorong investasi untuk perbaikan gizi. Perbaikan gizi diyakini membantu memutus lingkaran kemisikan dan meningkatkan PDB negara 2-3 persen per tahun.

***

Nazmi Haddyat Tamara adalah Data Analyst dan Statistician Katadata. Saat ini, dia mengisi posisi tim Data pada divisi Riset dan Data Katadata. Menempuh pendidikan pada jurusan Statistika IPB dan telah berpengalaman dalam pengolahan dan analisis data pada berbagai topik. 

Catatan:

Semua data yang diolah pada tulisan ini diperoleh dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pusat Statistik (BPS)

Editor: Nazmi Haddyat Tamara