Advertisement
Analisis | Mengapa Ekonomi RI Lebih "Kebal" saat Krisis Covid-19? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Ekonomi RI Lebih "Kebal" saat Krisis Covid-19?

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringoringo
Ekonomi Indonesia tak terlalu terpengaruh dengan kondisi global lantaran bertumpu pada konsumsi domestik. Namun, pandemi Covid-19 menciptakan dilema antara mempertahankan aktivitas ekonomi dalam negeri atau lockdown.
Dwi Hadya Jayani
14 September 2020, 09.00
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Ekonomi Indonesia terkontraksi 5,32% pada kuartal kedua 2020 akibat pandemi Covid-19. Namun masih tergolong baik di antara negara Asia Tenggara lain yang telah melaporkan pertumbuhannya. Hanya kalah dari Vietnam yang tumbuh positif 0,36% yoy. Sementara negara lainnya tumbuh minus di atas 10% yoy. Malaysia paling anjlok dengan minus 17,1% yoy.

Bukan kali pertama Indonesia mengalaminya. Saat krisis global 2008-2009 yang membuat ekonomi dunia tumbuh rendah berturut-turut 1,85% dan minus 1,67%, Indonesia tak terlalu terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia pada 2008 sebesar 6,01% dan 2009 sebesar 4,63%.

Ekonomi Indonesia tak tumbuh signifikan ketika dunia mengalami pembalikan ke level sama sebelum krisis 2008-2009. Ekonomi Tanah Air tumbuh sebesar 6,22% pada 2010. Berbeda dengan Singapura yang tumbuh mencapai 14,53% setelah pada 2009 hanya 0,12%.


Kondisi tersebut mengindikasikan Indonesia sedikit berjarak dengan perkonomian global. Hal ini lantaran motor penggeraknya adalah konsumsi domestik. Tercermin dari penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga yang mencapai 57,8%.

“Artinya separah apapun kondisinya, kita masih ada kegiatan ekonomi dari basis konsumsi. Ini sebagai modal dasar agar ekonomi kita tetap bertahan,” kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dikutip dari Tempo.co.

Berbeda dari Singapura yang kontributor PDB terbesarnya adalah ekspor, yakni sebesar 181%. Artinya, sangat bergantung kepada pasar global. Tak ayal pertumbuhan ekonominya sangat terpukul saat krisis melanda dunia.

Namun, selama pandemi Covid-19 pertumbuhan konsumsi rumah tangga terus melambat. Pada kuartal pertama 2020 hanya tumbuh 2,83% yoy. Berlanjut minus 5,51% di kuartal selanjutnya dan membuat PDB ikut terkontraksi, mengingat pertumbuhan keduanya selalu beriringan.

Melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dipengaruhi menurunnya daya beli masyarakat. Tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang turun seiring pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada April-Juni 2020. Semakin rendah poin IKK, berarti konsumen makin pesimistis terhadap kondisi perekonomian.   

Turunnya daya beli masyarakat akibat ketahanan ekonomi yang melemah. Hal ini seiring banyaknya pengangguran baru. Bappenas mencatat 9,8 juta orang kehilangan pekerjaan per Juni 2020.

“Dari 9,8 juta itu, kira-kira 30% di PHK dan lebih dari separuh di rumahkan mengingat utilitas manufaktur rendah sekali,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa melansir Kompas.com, Senin, (22/6).

Industri manufaktur memang mengalami perlambatan pertumbuhan dan terbenam pada kuartal kedua 2020 dengan terkontraksi 6,2% yoy. Padahal industri ini menyerap 18,5 juta tenaga kerja per Februari 2020 dan berkontibusi 19,87% terhadap PDB dan paling besar berdasarkan sektor lapangan usaha. Tulang punggung lain dari ekonomi Indonesia.

Melihat hal-hal di atas, pernyataan Presiden Joko Widodo pada 15 Juli lalu bahwa pertumbuhan ekonomi bisa semakin tersuruk di kuartal kedua bila menerapkan kebijakan karantina wilayah atau lockdown menjadi masuk akal.

Filipina yang juga kontributor PDB terbesarnya adalah konsumsi rumah tangga, terkena resesi setelah melakukan lockdown mulai pertengahan Maret. Pertumbuhan ekonominya terkontraksi dua kuartal berturut-turut sebesar 0,7% dan 16,5% yoy.

Indonesia masih punya kesempatan menghindari resesi pada kuartal ketiga. Jurus pemerintah dalam mencapai hal itu adalah memberi stimulus melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggarannya mencapai Rp 695,2 triliun. Mencakup untuk perlindungan sosial dan insentif usaha.
 

Hasilnya, Purchasing Managers’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia naik 8,3% dari bulan sebelumnya dengan nilai 50,8 pada Agustus. Menandakan ekonomi mulai bergeliat dan industri manufaktur siap ekspansi lagi.

Namun, efek samping pemerintah tak lockdown adalah kasus Covid-19 terus menanjak. Termasuk menciptakan klaster di tempat kerja dan pabrik. Sejumlah daerah pun harus menerapkan PSBB lagi, salah satunya DKI Jakarta yang sebelumnya telah masuk fase transisi ke arah normal.

Akibatnya, ekonomi berpotensi melambat dan pemerintah harus berupaya sekali lagi. Sejalan dengan penjelasan ekonom Indef Eko Listiyanto, bahwa sulit melenyapkan sentimen negatif terhadap perekonomian dalam negeri selama pandemi belum terkendali penuh. 

“Upaya ekonomi dengan jalan ini akan mengalami kendala sejauh tidak ada upaya penurunan signifikan Covid-19. Sebab, perilaku ekonomi masyarakat tergantung dari penanganan wabah,” jelas Eko mengutip CNN, Selasa (11/8).

Pelajaran baik bisa diambil dari Vietnam yang ekonominya tetap tumbuh positif setelah melakukan lockdown lebih awal. Menurut analsisis Bank Dunia dalam laporannya berjudul What Will Be The New Normal For Vietnam? The Economic Impact of Covid-19, hal itu membuat ekonomi negara ini terbagi ke dalam dua fase selama Covid-19.

Fase pertama mengandalkan ekspor, lantaran negara lain belum lokcdown. Ekspor barangnya pun tercatat tumbuh 13% pada April atau selama lockdown, sebaliknya penjualan ritel dalam negerinya turun hampir 20%. Sementara fase kedua, atau setelah lockdown, mulai menggeliatkan ekonomi domestik. Produksi manufakturnya tumbuh 30% pada Juni, sebaliknya ekspor barangnya turun 9%. 

     

Geliat manufaktur Indonesia
Geliat manufaktur Indonesia (Katadata)



Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi