Advertisement
Analisis | Potret Data Ekonomi Indonesia Setahun Pemerintahan Jokowi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Potret Data Ekonomi Indonesia Setahun Pemerintahan Jokowi

Foto:
Kinerja ekonomi setahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sangat terpengaruh pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 anjlok terdalam sejak Kuartal I 1999. Di sisi lain, ada surplus neraca perdagangan sepanjang Januari-September 2020.
Dwi Hadya Jayani
24 Oktober 2020, 08.27
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintahan periode kedua Joko Widodo (Jokowi) membawa misi melanjutkan perbaikan ekonomi Indonesia. Salah satu target adalah mengeluarkan negeri ini dari jebakan pendapatan kelas menengah, sebagaimana dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2020. Dengan begitu, mimpi masuk deretan lima besar negara ekonomi dunia dan kemiskinan nol persen pada 2045 bisa terwujud.  

Kini Jokowi telah setahun menjalankan kepemimpinan periode kedua bersama pendamping anyarnya, Ma’ruf Amin. Banyak kebijakan telah mereka lakukan dalam mewujudkan misi ekonomi, misalnya yang terbaru mendorong terciptanya UU Omnibus Law Cipta Kerja guna menggenjot investasi.

Begitupun banyak tantangan ekonomi yang hadir dalam perjalanan setahun tersebut, seperti pandemi Covid-19. Maka, berikut adalah potret perekonomian dalam data tahun pertama kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf:

Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2020 Terendah Sejak 1999

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf atau kuartal IV 2019 sebesar 4,97% berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Menjadi titik terendah laju ekonomi secara kuartalan pada tahun lalu.

Tahun baru ternyata tak membuat pertumbuhan ekonomi membaik. Pada kuartal I 2020, ekonomi tumbuh 2,97% (yoy). Kuartal selanjutnya justru lebih buruk, yakni tumbuh minus 5,32%. Terdalam sejak kuartal I 1999 ketika krisis moneter terjadi yang tumbuh minus 6,13%.  

Buruknya ekonomi pada kedua kuartal tersebut tak lepas dari faktor pandemi Covid-19. Kebijakan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah membuat gerak masyarakat terbatas. Konsumsi rumah tangga yang menjadi kontributor terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) dari komponen pengeluaran pun anjlok.

Pada kuartal I tahun ini, BPS mencatat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84% (yoy). Lalu, pada kuartal II 2020 tumbuh minus 5,51%.  

Kemiskinan dan Rasio Gini Naik

Potret selanjutnya adalah terkait kemiskinan dan ketimpangan (rasio gini). Pemerintahan Jokowi periode pertama memiliki catatan baik dalam menurunkan kemiskinan. Data BPS menunjukkan sejak 2014 sampai 2019 trennya terus turun dan bisa menyentuh satu digit pada 2018.

Namun, tren tersebut tak berlanjut pada tahun pertama kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf. Kemiskinan naik menjadi 9,78% per Maret 2020 dari 9,22% per September 2019. Tercatat pula 16 provinsi dengan kemiskinan di atas angka nasional. Lima provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi berada di wilayah Timur Indonesia.

Hal serupa tejadi pada angka rasio gini. BPS mencatat angkanya terus menurun sejak September 2014 sampai September 2019. Namun, rasio gini kembali meningkat pada Maret 2020. Terdapat delapan provinsi dengan angka rasio gini melampaui nasional. Tiga dari delapan provinsi dengan ketimpangan tertinggi terdapat di Pulau Jawa, yakni DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.

“Peningkatan (rasio gini) terjadi di kota maupun di desa. Ini terjadi karena Covid-19 membuat pendapatan seluruh lapisan masyarakat menurun,” kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam telekonferensi video, Rabu (15/7/2020).

Pengangguran Menurun Sebelum Pandemi

Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf berhasil menurunkan angka pengangguran. Pada Februari 2020, BPS mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun menjadi 4,99% (yoy) dari 5,28% (yoy) pada Agustus 2019.   

Berdasarkan jenjang pendidikan, TPT tertinggi masih dari sekolah menengah kejuruan (SMK). Meskipun demikian, seluruh TPT menurut jenjang pendidikan mengalami penurunan selama satu tahun terakhir.

Pengangguran pada Februari 2020 sebanyak 6,8 juta orang. Lebih rendah dari Agustus 2019 yang 7,4 juta orang. Angka tersebut pun jauh lebih rendah dari satu dekade lalu, yakni 8,59 juta orang per Februari 2010.

Namun, dampak buruk pandemi ke perekonomian menciptakan gelombang pengangguran baru. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hingga 27 Mei 2020 terdapat 1,79 juta buruh dirumahkan dan dipecat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi TPT pada tahun ini mencapai 8,1% dan pengangguran naik 4-5,5 juta orang.

Pada 2021, Bappenas memprediksi angkanya lebih buruk. TPT bisa mencapai 7,7%-9,1% dan pengangguran mungkin meningkat antara 10,7 juta-12,7 juta orang.  Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai salah satu solusi masalah ini adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja.

“UU Cipta Kerja menjadi salah satu solusi untuk memberikan dukungan agar banyak investasi masuk. Bukan hanya investasi padat modal, tapi juga padat karya yang bisa menciptakan lapangan kerja,” katanya mengutip CNBCIndonesia, Kamis (8/10/2020).

Neraca Perdagangan Surplus

Potret baik ekonomi Indonesia lainnya adalah surplus neraca perdagangan mencapai US$ 13,5 miliar pada Januari-September 2020. Naik dari periode sama tahun sebelumnya yang defisit sebesar US$ 2,2 miliar. Surplus tersebut terjadi karena nilai impor lebih rendah dari ekspor yang masing-masing US$ 103,7 miliar dan US$ 117,2 miliar.

Meski demikian, nilai impor dan ekspor pada periode tersebut sebetulnya menurun dari tahun sebelumnya. Nilai impor turun 18,15% dan ekspor 5,81%. Khusus impor pun menurun pada semua jenis penggunaan barang. Hal ini patut diwaspadai, terutama untuk impor bahan baku/penolong dan barang modal karena berpengaruh terhadap pergerakan industri dan investasi.

“Dalam beberapa studi, jika impor bahan baku menurun maka efeknya akan terlihat dalam penurunan kinerja produksi manufaktur 3-5 bulan berikutnya,” jelas Peneliti INDEF, Bhima Yudistira saat dihubungi Katadata.co.id.

Secara bulanan, kinerja perdagangan Indonesia fluktuatif selama pandemi. Penurunan terjadi setelah Maret 2020, saat kasus pertama Covid-19 diumumkan. Laporan terakhir pada September 2020, kinerja perdagangan kembali menggeliat. Sektor manufaktur menunjukkan perbaikan pada Agustus, tapi kembali menurun pada September karena penerapan PSBB jilid kedua di Jakarta.

Daya Beli Masyarakat Ringkih

Menjaga daya beli menjadi tantangan setahun awal pemerintahan Jokowi-Maruf. Hal ini karena masyarakat cenderung enggan berbelanja. Tercermin dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang cenderung menurun. Mulai April-September 2020, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), poinnya konsisten di bawah 100 yang berarti dalam zona pesimis.

Penurunan IKK terjadi di hampir seluruh kelompok pengeluaran. Tertinggi pada kelompok pengeluaran Rp 3,1 hingga 4 juta. Hanya kelompok pengeluaran Rp 4,1 hingga 5 juta yang naik tipis 0,1 poin. BI dalam laporannya menyebut penurunan karena melemahnya ekspektasi konsumen terhadap perekonomian enam bulan mendatang.

Rendahnya daya beli masyarakat juga tercermin dari deflasi selama tiga bulan beruntun dari Juli-Agustus 2020. Indonesia terakhir kali mengalami hal serupa pada 1999. Kepala Ekonom BCA David Sumual menilainya juga sebagai cerminan resesi sedang terjadi.

 

 

Utang Luar Negeri Membengkak

Terakhir, adalah utang luar negeri (ULN) yang membengkak. BI mencatat nilainya mencapai US$ 413,4 miliar pada Agustus 2020 atau setara dengan Rp 6.013 triliun mengacu kepada kurs JISDOR pada akhir periode yang sama. Posisi ini tumbuh 5,7% dibandingkan periode sama tahun lalu dan 4,2% dari bulan sebelumnya.

Peningkatan ULN ini tak lepas dari upaya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang memakan anggaran Rp 695,2 triliun. Terlihat dari proporsi ULN terbesar di sektor kesehatan dan kegiatan usaha, yakni US$ 47,39 miliar.

Hingga saat ini, anggaran PEN masih terserap 49,5% dari pagu. Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal menilai tingkat penyerapan tersebut menunjukkan penggunaan ULN belum efektif. Ia menyarankan pemerintah memprioritaskan pembiayaan PEN melalui utang dalam negeri yang risikonya lebih rendah lantaran tak terpengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah.

“Kalau nilai tukar rupiah melemah, otomatis utangnya jadi membengkak karena dalam bentuk valas. Upaya membayarnya jadi lebih susah,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Senin (19/10/20).

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi