Kondisi Ekonomi 2015 Berbeda dengan Menjelang Krisis 1997-1998

Aria W. Yudhistira
27 Agustus 2015, 11:37
Katadata
KATADATA
Investor melewati papan perdagangan di Bursa Efek Indonesia.

KATADATA ? Kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini dinilai berbeda dengan situasi menjelang terjadinya krisis 1998 dan 2008. Kendati kondisinya masih aman terkendali, kewaspadaan tetap perlu ada untuk menghalau kepanikan pasar akibat gejolak ekonomi yang terjadi di luar negeri.

Menurut Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Budi Hikmat, Bank Indonesia (BI) sebetulnya sudah memiliki kesadaran yang tinggi dalam menghalau potensi krisis (sense of crisis). Saat ini, yang menjadi salah satu fokus perhatian adalah kondisi perekonomian Malaysia. Mata uang ringgit melemah tajam sehingga menguras cadangan devisa negara jiran tersebut.

Ringgit Malaysia merupakan salah satu mata uang yang mengalami pelemahan cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sejak awal tahun, ringgit tercatat sudah melemah hingga 21 persen dan berdampak terhadap posisi cadangan devisa negara tetangga itu. Per Agustus, cadangan devisa Malaysia berada di angka US$ 94,5 miliar, atau turun 19 persen dibandingkan awal tahun.

Perkembangan ekonomi di Malaysia itu perlu diantisipasi agar tidak memicu kepanikan di kalangan pelaku pasar keuangan di Indonesia. Tanda-tanda krisis, kata dia, biasanya berawal dari adanya kepanikan yang menjalar. ?Karena 1997 kan (krisis bermula) dari Thailand. Sense of crisis itu hidup, tapi perlu didukung oleh undang-undang agar protokol krisis jadi jelas,? kata Budi kepada Katadata, Rabu (26/8).

Kalau melongok ke belakang, Budi menilai, situasi ekonomi saat ini berbeda dengan kondisi krisis pada 1998 dan 2008. Pada 1998, Indonesia berada di tengah pusaran krisis. Ibaratnya, krisis terjadi di rumah sendiri, sehingga yang dilakukan pada waktu itu adalah mencoba keluar. Sementara pada 2008, krisis tidak terjadi di rumah sendiri, dan Indonesia tidak sendirian menghadapi situasi tersebut. Kala itu, meski ada gejolak nilai tukar tapi harga komoditas masih tinggi.

Adapun yang terjadi sekarang, pelemahan nilai tukar rupiah dibarengi dengan penurunan harga minyak mentah dunia dan harga komoditas. Harga minyak tercatat sudah menyentuh level di bawah US$ 40 per barel, sementara rupiah sudah menembus level Rp 14.000 per dolar AS atau turun hingga 14 persen dibandingkan awal tahun.

Hal ini yang membuat situasi sekarang lebih berat dibandingkan 2008. Terlebih setelah Uni Eropa dan Jepang ikut menggelontorkan stimulus yang kemudian diikuti kebijakan Cina mendevaluasi mata uangnya. Di sisi lain, Indonesia tidak dapat mengambil kesempatan dari penguatan dolar AS dengan meningkatkan ekspor, karena harga komoditas tengah merosot.

?Makanya jangan tangisi rupiah, tapi ratapilah ketidakmampuan mengkapitalisasi penguatan dolar AS. Harusnya lebih baik kalau Indonesia banyak mengekspor manufaktur yang padat karya,? kata dia.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...