Tiga Otoritas Siap Cegah Ambruknya Sistem Keuangan

Muchamad Nafi
4 April 2016, 18:14
Gedung OJK
Donang Wahyu|KATADATA

KATADATA – Pemerintah menyiapkan tiga lembaga utama untuk mencegah terjadinya krisis keuangan. Sebab, bila krisis terjadi, biaya pemulihannya akan begitu besar. Hal ini berkaca pada pengalaman krisis keuangan 2008. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat biaya penanganannya mencapai 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika dihitung dengan nilai PDB saat ini, maka nilainya bisa mencapai Rp 6.600 triliun.

Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti menuturkan pemerintah dan parlemen sepakat bahwa penyelesaian bank bermasalah melalui sistem bail in. Dengan demikian, anggarannya berasal dana pemilik atau pemegang saham pengendali, bukan lagi menggunakan uang negara melalui bail out. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang disahkan bulan lalu. (Baca: DPR Pertanyakan Batas Pinjaman ke LPS dalam RUU JPSK).

Dua langkah ini berbeda terutama pada sumber dananya. Jika bail out merupakan suntikan likuiditas langsung dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), dana bail in berasal dari Lembaga Penjamin Simpanan dalam bentuk pinjaman yang harus dikembalikan melalui premi. Bail in akan lebih difokuskan kepada pencegahan krisis sehingga suntikan likuiditas diberikan sebelum sebuah entitas dinyatakan gagal bayar. 

“UU itu untuk mencegah. Kalau krisis biayanya mahal sekali. Dulu 2008, 60 persen dari PDB habis untuk restrukturisasi perbankan. PDB sekarang sekitar  Rp 11 ribu triliun, jadi Rp 6.600 triliun untuk restrukturisasi perbankan. Itu sangat mubazir,” kata Destry dalam seminar bertajuk “Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Bagi Kemajuan Ekonomi” di Hotel Le-Meridien, Jakarta, Senin, 4 April 2016.

Dari sisi kelembagaan, kata Destry, jaring pengaman krisis yang pertama adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas ini menangani permasalahan bank dan mengedepankan mekanisme bail in. Penjaga kedua oleh Bank Indonesia sebagai pemberi fasilitas pinjaman kepada bank bermasalah atau lender of last resort yang menangani kesulitan likuiditas. Kemudian jarring pengaman terakhir yaitu LPS, yang memberikan deposit insurance dan bank resolution. (Baca juga: UU JPSK Hampir Rampung, Pemilik Bank Bermasalah Bakal Diburu).

Resolusi bank yang dimaksud yakni pengumpulan premi sebesar 0,2 persen per tahun. Destry mengatakan kebanyakan negara menyetor 2,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Sedangkan Indonesia hanya sekitar 1,5 persen atau Rp 67 triliun dari total DPK sekitar Rp 4.500 triliun. “Kami masih perlu meningkatkan hasil dari premi industri,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...