Divestasi Saham Perusahaan Tambang Buka Peluang Korupsi Pejabat

Anggita Rezki Amelia
23 Februari 2017, 20:38
Tambang batubara
Donang Wahyu|KATADATA

Peraturan baru yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan divestasi 51 persen sahamnya kepada pemerintah, berpotensi membuka peluang korupsi oleh pejabat. Alasannya, proses divestasi itu dapat memicu aksi penyuapan hingga konflik kepentingan.

Senior Economic Analyst Natural Resources Governance Institute David Manley mengatakan, risiko itu bisa terjadi ketika pejabat pemerintah mengatur penjualan kepada perusahaan swasta atau BUMN yang penerima manfaatnya adalah mereka sendiri, keluarga mereka atau rekan dekat mereka.

“Mereka bisa memperoleh aset dengan harga rendah," kata dia dalam diskusi kebijakan divestasi pertambangan di Jakarta, Kamis (23/2). (Baca: Dukung Jonan, Luhut Minta Freeport Divestasi 51 Persen Saham)

Selain itu, David melihat, kebijakan divestasi belum tentu menguntungkan bagi negara. Alasannya, negara akan memerlukan dana yang tidak sedikit. Jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup, terpaksa pemerintah mencari pinjaman. Alhasil, utang luar negeri bisa membengkak.

Tidak hanya itu, pendanaan untuk membeli saham divestasi itu bisa menguras anggaran negara. Kondisi ini bisa berdampak pada pendanaan proyek lain. "Membeli ekuitas di sektor pertambangan artinya memberi kesempatan yang hilang untuk berinvestasi di sektor lain dari perekonomian Indonesia," ujar David.

Ia menyarankan penggunaan APBN untuk sektor produktif ketimbang hanya untuk membeli saham tambang. Sebab, Indonesia perlu menciptakan  42 juta pekerjaan dan membangun infrastruktur pendukung lainnya. Adapun kebutuhan pembangunan infrastruktur tahun 2016 sebesar Rp 320 triliun, dan mencapai Rp 1.800 triliun hingga 2025.

(Baca: Pemerintah Pastikan Freeport Wajib Divestasi Saham 51 Persen)

Kepemilikan oleh orang Indonesia juga lebih sedikit menyerap lapangan kerja untuk masyarakat. Alasannya, mayoritas biaya proyek pertambangan dikeluarkan selama fase pengembangan proyek dan 10 tahun pertama produksi, yaitu ketika sebuah perusahaan asing memegang saham pengendali.

Atas dasar itu, perubahan kepemilikan perusahaan dianggap tidak akan meningkatkan ketenagakerjaan lokal di sektor pertambangan. Penyebabnya, mayoritas lapangan pekerjaan sudah jatuh ke masyarakat Indonesia.

Dari segi investor, aturan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 9/2017 bisa menghambat investasi. Apalagi dalam Pasal 14, penentuan saham berdasarkan nilai pasar wajar ini tidak dapat menyertakan nilai cadangan. Pendekatan ini sangat membatasi imbal hasil yang bisa diharapkan investor dari investasi mereka di Indonesia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...