Demokrat Keberatan PDIP Serang SBY Atas Penyebutan Puan dan Pramono

Dimas Jarot Bayu
23 Maret 2018, 11:57
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Ketua Umum DPP Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono saat sambutan Rapat Kerja Nasional di Hotel Lombok Raya, Mataram, NTB, Senin (8/5).

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengkritik reaksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) atas penyebutan nama Puan Maharani dan Pramono Anung dalam sidang kasus korupsi proyek e-KTP. Hinca menyebut reaksi Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang menyerang pemerintahan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mendiskreditkan Demokrat, sebagai salah alamat.

"Kalau membantah dan mengatakan kadernya tidak terlibat, bantahannya harusnya kepada Setya Novanto dan KPK," kata Hinca dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/3).

Menurut Hinca, Hasto tak seharusnya menyeret pihak lain yang tak ada hubungannya dengan peristiwa tersebut. Demokrat, lanjutnya, juga tak akan ikut memvonis Puan dan Pramono pasti terlibat. "Kami tahu hukum. Mengapa justru Partai Demokrat dan pemerintahan Presiden SBY yang diserang dan disalahkan?" ujar Hinca.

(Baca juga: Setnov Ungkap Puan dan Pramono Terima Uang e-KTP US$ 500 Ribu)

Hinca menilai, argumen Hasto yang menyatakan bahwa kader partai oposisi tak melakukan korupsi sebagai dangkal, lemah, dan mengada-ada. Menurut Hinca, tindak pidana termasuk korupsi adalah perbuatan individu yang harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Korupsi, lanjut Hinca, tak berkaitan dengan partai yang sedang beroposisi maupun tengah berkuasa.

"Partai-partai politik yang saat ini tidak berada di koalisi pendukung pemerintah, ketika ada kadernya yang kena jerat KPK, juga tidak ada yang menyalahkan pemerintahan Presiden Jokowi," kata Hinca.

Menurut Hinca, partai memang wajib melindungi kadernya dan memberikan bantuan hukum jika terjerat suatu masalah. Namun, hal tersebut tak bisa dilakukan secara membabi buta.

"Apalagi jika dengan menggunakan tangan-tangan kekuasaan menghalang-halangi penegakkan hukum yang sedang dilakukan oleh para penegak hukum," kata Hinca.

Hinca juga menilai Hasto tak bijak karena menyalahkan kebijakan e-KTP. Sebab kebijakan tersebut merupakan amanah undang-undang yang dihasilkan bersamaan antara eksekutif dan legislatif.

"Pernyataan Sekjen PDIP yang langsung menyalahkan kebijakan dan program e-KTP lantaran kader-kadernya ada yang diduga terlibat korupsi e-KTP ibarat mencuci tangan yang kotor dan kemudian airnya disiramkan ke orang lain," kata dia.

(Baca juga: Geram Disebut Setnov Terima Uang e-KTP, Pramono Anung Siap Diperiksa)

Menurut Hinca, dengan adanya kader yang terseret kasus e-KTP, PDIP justru sedang diuji apakah mendukung upaya pemberantasan korupsi. PDIP akan diuji apakah tak akan menghalang-halangi proses hukum oleh KPK.

"Semoga rakyat kita menilai dan membandingkan, partai-partai mana yang konsisten dan konsekuen dalam pemberantasan korupsi dan mana yang tidak," ujarnya.

Pada sidang di Pengadilan Tipikor Kamis (22/3) lalu, Setya Novanto menyatakan uang korupsi e-KTP juga mengalir kepada putri Megawati, Puan Maharani, dan politikus PDIP Pramono Anung masing-masing US$ 500 ribu. Setnov menyatakan pemberian uang kepada Puan dan Pramono dia ketahui dari keterangan terdakwa Andi Narogong dan rekannya pengusaha Made Oka Masagung pada akhir 2011 saat berkunjung ke rumahnya.

Hasto bereaksi atas tudingan Setnov dengan membantah partainya turut terlibat dalam pusaran korupsi e-KTP. Beberapa pernyataan Hasto ditujukan kepada pihak penguasa saat itu yang mendesain proyek e-KTP.

"Posisi politik PDI Perjuangan selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat itu berada di luar pemerintahan. Tidak ada representasi menteri PDI Perjuangan di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu selama 10 tahun. Kami menjadi oposisi," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/3).

Menurut Hasto, PDIP dalam beberapa keputusan strategis selalu dikalahkan dalam voting. Hal ini, lanjutnya, juga menunjukkan bahwa PDIP tak berada dalam posisi politik yang kuat untuk menentukan kebijakan proyek e-KTP.

“Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. Dengan demikian atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov, kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut,” kata Hasto.

(Baca juga: Cemooh Drama Jokowi-SBY, Gerindra Upaya Dekati AHY)

Konsep e-KTP yang disampaikan PDIP ketika itu juga sangat berbeda. Hasto mengatakan, pihaknya saat itu justru mengusulkan e-KTP bukan pada pendekatan proyek, namun pendekatan integrasi data antara pajak, BKKBN, kependudukan, serta hasil integrasi data divalidasi melalui sistem single identity number.

Sistem tersebut juga diintegrasikan dengan rumah sakit, puskesmas, hingga ke dokter kandungan dan bidan. "Itulah konsepsi kami yang bertolak belakang dengan konsepsi pemerintah," kata Hasto.

Serangan Hasto kepada Demokrat juga terlihat saat meminta mantan Menteri Dalam Negeri era SBY, Gamawan Fauzi, memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP.

“Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab pemerintahan tersebut pada awal kampanye menjanjikan “katakan TIDAK pada korupsi”, dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi yang terjadi, tentu rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi tersebut, termasuk e-KTP,” kata Hasto.

Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...