Arus Keluar Dana Asing Tekan Rupiah, BI Kerek Bunga Acuan Jadi 4,75%

Rizky Alika
30 Mei 2018, 15:06
perry warjiyo
Arief Kamaludin|Katadata
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Bank Indonesia (BI) mengerek kembali bunga acuan BI 7 Days Repo Rate sebesar 0,25% menjadi 4,75%. Dengan perkembangan tersebut maka bunga acuan telah naik total 0,5% Mei ini. Kenaikan tersebut sejalan dengan janji Gubernur baru BI Perry Warjiyo yang menyatakan kebijakan bunga acuan bakal lebih ahead of the curve alias antisipatif di tengah banyaknya tantangan global. 

Perry menjelaskan, ekonomi domestik dalam kondisi baik, namun banyak tantangan global yang perlu diantisipasi di antaranya kenaikan bunga acuan Amerika Serikat (AS) dan defisit fiskal di negara tersebut, serta risiko geopolitik. Hal-hal tersebut telah memicu kenaikan imbal hasil (yield) surat berharga AS atau US Treasury dan penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia.

“(Kondisi itu) memicu pembalikan modal asing atau capital outflow dan memberi tekanan pada pasar keuangan di negara maju dan emerging market, termasuk Indonesia, baik dalam bentuk penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, maupun melemahnya nilai tukar,” kata Perry dalam Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Rabu (30/5).

Selain menaikkan bunga acuan, BI juga mengerek suku bunga fasilitas simpanan atau (deposit facility) sebesar 0,25% menjadi 4%, demikian juga dengan fasilitas pinjaman (lending facility) naik 0,25% menjadi 5,5%. Keputusan ini berlaku efektif mulai 31 Mei 2018.

(Baca juga: Bunga Acuan Naik, BI Sebut Dampak ke Ekonomi Baru 1-2 Tahun ke Depan)

Perry menjelaskan, keputusan kenaikan bunga acuan tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek BI yang memprioritaskan kebijakan moneternya pada stabilitas khususnya nilai tukar rupiah. Ia pun kembali mengisyaratkan kemungkinan kenaikan lebih lanjut bunga acuan jika dibutuhkan.

“BI akan terus mengkalibrasi perkembangan ekonomi, keuangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih adanya ruang kenaikan suku bunga secara terukur,” kata dia.

Di sisi lain, untuk terus mendorong ekonomi, ia pun menyatakan BI tengah menyiapkan pelonggaran kebijakan makroprudensial dan akselerasi upaya pendalaman pasar keuangan khsuusnya untuk pembiayaan infrastruktur untuk swasta.

Kenaikan bunga acuan ini sesuai prediksi sejumlah ekonom. Namun, keputusan tersebut diprediksi belum akan membuat nilai tukar rupiah menguat signifikan. Ekonom Institute for Development of Economics & Finance Bhima Yudhistira memprediksi nilai tukar rupiah akan bertahan di level 13.900-14.000 per dolar AS pada Rabu (30/5) ini, meskipun bunga acuan kembali dikerek naik.

(Baca juga: Ini Prediksi Pergerakan Kurs Rupiah Jika BI Kerek Bunga Acuan)

Penyebabnya, pelaku pasar sudah memperhitungkan faktor kenaikan bunga acuan (price in) tersebut dalam menentukan langkah investasinya. "Jadi meskipun BI akan menaikkan bunga acuan lagi di RDG tambahan, pelaku pasar tidak terlalu surprise," kata Bhima.

Di sisi lain, ia memperkirakan faktor global bisa jadi penghambat laju penguatan kurs rupiah. Yang terbaru yakni masalah instabilitas politik dan ancaman krisis keuangan di Italia. "Selain Italia, ada Turki dan Argentina yang dikhawatirkan memicu krisis sistemik global," ujarnya.

Negosiasi dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok yang belum menemui titik terang juga berpotensi jadi faktor pemberat penguatan kurs rupiah. Sementara itu, keputusan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) akan berpengaruh ke harga-harga komoditas dan ujungnya juga berdampak pada kurs.

Dengan perkembangan tersebut, Bhima meramalkan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya masih akan bergerak mixed. (Baca juga: Gejolak Kurs Rupiah Diprediksi Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun)

Senada dengan Bhima, Ekonom yang kini menjabat Project Consultant Asian Development Bank Eric Sugandi melihat peluang penguatan kurs rupiah jika BI kembali mengerek bunga acuan, namun faktor eksternal juga menentukan arah pergerakan rupiah.

Ia menjelaskan, gejolak politik di Italia telah menyebabkan jatuhnya harga obligasi (bonds) Italia. Bahkan, berdampak pada merosotnya indeks harga saham di bursa Eropa. Kondisi ini bakal membuat dolar AS semakin perkasa, sehingga memberi tekanan kepada mata uang dunia lainnya.

"Jadi nanti lihat mana yang lebih kuat pengaruhnya terhadap rupiah: kenaikan BI 7 Days Repo Rate atau berita negatif dari Eropa," katanya.

Sejauh ini, dari hasil pantauannya, berita negatif di Eropa telah mempengaruhi pergerakan indeks saham di bursa Asia. Dengan perkembangan tersebut, ia pun mengkhawatirkan kurs rupiah akan mengalami pelemahan.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...