Bersama KPK, Komnas HAM & BNN Tolak Revisi KUHP soal Pidana Khusus

Dimas Jarot Bayu
6 Juni 2018, 21:59
Sidang paripurna DPR
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Pembahasan revisi KUHP mengenai tindak pidana khusus mendapat pertentangan dari KPK, Komnas HAM dan BNN.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Badan Narkotika Nasional (BNN) serempak menolak revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait dengan aturan kodifikasi tindak pidana khusus.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai dimasukkannya aturan tindak pidana khusus, seperti korupsi dalam RKUHP bakal melemahkan kinerja lembaga antirasuah tersebut. Alasannya, dalam hukum berlaku asas lex posterior yang maknanya aturan terbaru mengesampingkan aturan lama.

Sehingga RKUHP bakal mengesampingkan beberapa norma yang ada dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Selain itu, hal ini juga akan membingungkan KPK karena memiliki dua rujukan dalam pemberantasan korupsi, yakni KUHP dan UU Tipikor.

"Jadi tolong kepada pemerintah saya berharap jangan kita dengan sengaja menciptakan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum membuat susahnya memperoleh keadilan," kata Laode di kantornya, Jakarta, Rabu (6/6).

(Baca juga: Usai Kirim Surat, KPK Tunggu Sikap Jokowi soal Revisi KUHP)

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai pelanggaran HAM berat akan menjadi tindak pidana umum bila dimasukkan dalam RKUHP. Sehingga, kasus pelanggaran HAM berat menjadi memiliki batas kadaluwarsa.

Padahal, kata Anam, dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan jika kasus pelanggaran HAM berat tak memiliki batas waktu, sebagaimana jika dimasukkan dalam RKUHP.

Anam menjelaskan, tidak diberikannya batas waktu dalam penanganan pelanggaran HAM berat karena biasanya pelaku adalah penguasa atau yang memiliki hubungan dengannya.

Dalam kondisi penguasa tersebut memerintah, kasus pelanggaran HAM berat sulit untuk diadili. Alhasil, penanganan kasus pelanggaran HAM berat tidak diberikan batas waktu sehingga ketika penguasa berganti, kasus tetap bisa diusut. "Kalau ada kadaluwarsa nanti kasusnya langsung habis," kata Anam.

(Baca juga: Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers)

Selain itu, KUHP hanya mengenali asas actus reus di mana harus terdapat perbuatan nyata ketika kasus pelanggaran HAM berat terjadi. Sementara itu, asas mens rea atau sikap batin pelaku tidak dikenali dalam KUHP.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...