Menkeu Akui Krisis Turki Bikin Pamor Rupiah Meredup
Faktor eksternal yang mempertebal sentimen pelemahan nilai tukar rupiah saat ini adalah tertekannya lira Turki. Kondisi ini membuat dolar Amerika Serikat semakin kuat.
Beban utang kepada Eropa membuat keperkasaan lira Turki melempem. Sulit dihindari, kondisi ini berpengaruh terhadap euro Eropa. Ujungnya bisa ditebak, yakni nilai tukar dolar AS menjadi lebih perkasa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Turki sedang mengalami gejolak politik yang berimbas kepada pasar keuangan global. Sejauh ini, belum ada reaksi signifikan dari Bank Sentral Turki merespon kejatuhan lira. Yang dilakukan sebatas mengubah aturan cadangan untuk meningkatkan likuiditas valas bank tetapi belum ampuh untuk mendongkrak lira.
"Karakter persoalan di sana (Turki) sebetulnya adalah persoalan serius. Masalah currency juga berpengaruh terhadap ekonomi domestik terutama juga dimensi politik dan keamanan di sana," kata dia, di Jakarta, Senin (13/8).
Tantangan dari pasar keuangan global tidak bisa dibilang remeh tetapi Kemenkeu meyakini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II/2018 terbilang kuat berkat sokongan dari konsumsi rumah tangga. Walau demikian, Sri Mulyani mengakui, pertumbuhan investasi dan kinerja ekspor perlu terus dipacu.
(Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 5,27%, Tertinggi Selama Periode Jokowi)
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berpendapat bahwa efek krisis Turki terhadap rupiah bersifat sementara. Pelemahan kurs mata uang tidak hanya dialami rupiah melainkan sejumlah valas milik negara berkembang lain. "Ini (berdampak) kepada semua emerging market. Semestinya sementara," tuturnya.
Berdasarkan kepada data yang dilansir Bloomberg diketahui, nilai tukar rupiah berada pada posisi 14.612 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot, Senin (13/8). Angka ini menunjukkan pelemahan 0,93% dibandingkan dengan penutupan pada Jumat (10/8). Pergerakan nilai tukar rupiah hari ini terpantau pada kisaran 14.544 - 14.614 per dolar AS.
Mengamati pergerakan rupiah sekarang, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara sepakat bahwa depresiasi nilai tukar rupiah turut dipengaruhi faktor eksternal, yakni krisis Turki yang menyebabkan lira anjlok 40% secara year to date.
"Krisis Turki diprediksi akan menyebabkan spillover effect ke negara di kawasan Eropa dan negara berkembang lainnya. Kondisi ini diperparah oleh sanksi dari Amerika Serikat berupa kenaikan bea masuk alumnium asal Turki," ujar dia kepada Katadata secara terpisah.
Alhasil, para pemilik kapital cenderung menghindari aset negara berkembang (emerging market). Tak bisa dielakkan, investor asing berbondong-bondong memborong dolar dan treasury bond. T-bond alias treasury bond adalah obligasi jangka panjang pemerintah AS yang jatuh temponya lebih dari 10 tahun dengan bunga per semesteran berbentuk kupon.
Nah, kalau berbicara faktor domestik jelas bahwa sentimen investor terpengaruh posisi defisit transaksi berjalan yang menembus 3% terhadap Prudok Domestik Bruto (PDB). Menurut Bhima, current account deficit (CAD) berpotensi melebar pada triwulan ketiga dan keempat tahun ini.
"Akibat kenaikan biaya kebutuhan impor, pembayaran utang jatuh tempo, dan realisasi proyek infrastruktur yang butuh bahan baku impor," katanya.