Kurs Rupiah Perkasa di Tengah Data Defisit Besar Neraca Dagang
Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang perdagangan Selasa (15/1) pagi hingga siang ini. Pengumuman Badan Pusat Statistis (BPS) bahwa neraca perdagangan kembali mengalami defisit besar pada Desember lalu, tak mengganggu penguatan kurs rupiah.
Saat berita ini ditulis, nilai tukar rupiah tercatat berada di level 14.071 per dolar AS atau menguat 0,38% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. Penguatan tersebut merupakan yang terbesar di antara mata uang Asia lainnya. Won Korea Selatan dan yuan Tiongkok tercatat berada di psoso kedua dan ketiga dengan penguatan masing-masing sebesar 0,29% dan 0,24%.
(Baca: Terbesar Sepanjang Sejarah, Neraca Dagang 2018 Defisit US$ 8,57 Miliar)
Sehari sebelumnya, mayoritas mata uang Asia tercatat melemah seiring dengan data neraca perdagangan pemerintah Tiongkok yang di luar ekspektasi. Kondisi ini memicu kekhawatiran investor terhadap perkembangan ekonomi global.
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Indonesia mengalami defisit US$ 1,1 miliar pada Desember, sehingga secara keseluruhan tahun defisit sebesar US$ 8,57 miliar. Ini merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah.
(Baca juga: Dana Asing Masuk, BI Taksir Neraca Pembayaran Kuartal IV US$ 4 Miliar)
Sebelumnya, BI juga memprediksikan neraca dagang masih defisit pada Desember, begitu juga dengan neraca transaksi berjalan (neraca dagang barang dan jasa) yang dirilis secara kuartalan. Namun, derasnya aliran masuk dana asing ke pasar keuangan diprediksi bisa menambal defisit transaksi berjalan sehingga pasokan dan permintaan dolar AS relatif lebih baik.
(Baca: Ide Reverse Tobin Tax untuk Pertahankan Dana Asing Ditanggapi Beragam)
Adapun aliran masuk dana asing tercatat berlanjut di awal tahun ini. Hal itu seiring dengan meredanya ketidakpastian global dan penerbitan surat utang oleh pemerintah. Pada Selasa (15/1) ini, pemerintah tercatat melakukan lelang surat utang berdenominasi rupiah dengan target indikatif Rp 15 triliun dan target maksimal Rp 30 triliun. Tak ayal, nilai tukar rupiah masih cenderung kuat.