Sengkarut Proyek PLTU Riau 1 yang Menyeret Dirut PLN Jadi Tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan penyidikan dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau 1. Yang terbaru, KPK menetapkan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir sebagai tersangka. Nasib proyek PLTU Riau 1 pun buram.
PLTU Riau 1 merupakan salah satu pembangkit dalam proyek 35 ribu megawatt (MW) yang dicanangkan Joko Widodo saat terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2014 lalu. Proyek tersebut masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018 -2027.
Rencananya, pembangkit berbahan bakar batu bara ini akan dibangun di mulut tambang dan memiliki kapasitas 2 x 300 MW. Nilai proyeknya mencapai US$ 900 juta, dengan targetpenyelesaian sekitar 2023 hingga 2024.
(Baca: Terkait Status Tersangka Dirut PLN, Jokowi Berikan Kewenangan Pada KPK)
Pembangkit ini digarap perusahaan konsorsium yang terdiri dari China Huadian Enginerring Co, Ltd (CHEC), PT Samantaka Batu Bara, PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), dan PT PLN Batu Bara (PLN BB). PJB dan PLN BB merupakan anak usaha PLN. Sedangkan Samantaka adalah anak usaha BlackGold Natural Resources Limited.
BlackGold melalui Samantaka memiliki konsesi batu bara dengan luas area 15 ribu hektare dengan lebih dari 500 juta ton sumber daya batu bara. BlackGold terdaftar di Bursa Efek Singapura dengan kode saham 41H.
Sesuai kesepakatan, PJB ditunjuk sebagai pemimpin proyek. CHEC bertugas untuk mengamankan pendanaan. Sedangkan Samantaka dan PLN BB akan memasok batu bara ke pembangkit. Pasokan itu dari konsensi penambangan Samantaka. Jangka waktu pasokan ditentukan sesuai masa perjanjian jual beli listrik (PPA).
(Baca: PLN Jamin Layanan Tak Terganggu meski Sofyan Basir Jadi Tersangka KPK)
Konsorsium sudah menandatangani Letter of Intent (LOI) mengenai jual beli listrik pada 23 Januari 2017. Setelah penandatanganan LOI, konsorsium seharusnya membentuk perusahaan patungan yang akan menggarap Proyek Riau-1 dan menyerap batu bara dari Samantaka.
Namun, sebelum perusahaan patungan tersebut terbentuk, KPK menangkap pengusaha swasta sekaligus pemegang saham Blackgold Johannes Budistrisno Kotjo yang diduga menyuap Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebesar Rp 500 juta.
Empat Peran Sofyan Basir
Dalam konferensi pers, Selasa (23/4) kemarin, KPK memaparkan Sofyan diduga membantu atau bersama-sama dengan Eni dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johannnes terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau 1. Sofyan diduga melakukan sejumlah pertemuan dengan pihak-pihak terkait.
Dari pertemuan tersebut, KPK menyebut ada empat peran Sofyan. Pertama, menunjuk perusahaan Blackgold untuk mengerjakan proyek PLTU Riau 1. Kedua, menyuruh salah satu Direktur PLN untuk berhubungan dengan Eni dan Johannes.
Ketiga, menyuruh salah satu Direktur PLN untuk memonitor karena ada keluhan dari Johannes tentang lamanya penentuan proyek PLTU Riau 1. Terakhir, membahas bentuk dan lama kontrak antara CHEC dengan perusahaan-perusahaan konsorsium.
(Baca: Kementerian BUMN Kaji Status Dirut PLN yang Jadi Tersangka KPK)
Kasus suap ini bermula dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Eni dan Johannes pada 13 Juli 2018. Dua pihak ini telah divonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perkembangannya, KPK menemukan sejumlah bukti penerimaan lain oleh Eni dari berbagai pihak dan peran pihak-pihak lain. KPK melakukan penyidikan dan menetapkan dua tersangka lain.
Keduanya yaitu, Idrus Marham yang merupakan pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar (November-Desember 2017). Ia ditetapkan tersangka ketika menjabat Menteri Sosial. Kemudian, Samin Tan, pemilik perusahaan PT Borneo Lumbung energi dan Metal.
Dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah mencermati fakta-fakta di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK menyatakan pihaknya menemukan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan keterlibatan pihak lain. KPK pun meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan dan menetapkan Sofyan sebagai tersangka.