Skema Gross Split Dianggap Penyebab Lambatnya Pembahasan IDD
Pemerintah belum menyetujui rencana pengembangan (PoD) proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) tahap II. Padahal persetujuan proyek tersebut dijadwalkan selesai pada pertengahan tahun ini.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, lambatnya pembahasan rencana pengembangan proyek IDD bisa saja disebabkan perubahan skema kontrak bagi hasil (PSC) dari cost recovery menjadi gross split. "Apakah lambatnya perkembangan proyek IDD karena menggunakan skema gross split, saya kira bisa saja. Karena kita tahu dengan gross split ini, maka semua menjadi tanggungan kontraktor,"kata Mamit kepada Katadata.co.id (27/6).
Jika menggunakan cost recovery, biaya dan resiko pengembangan proyek migas ditanggung oleh kontraktor dan pemerintah. Seperti proyek Blok Masela yang tetap menggunakan skema cost recovery.
"Chevron berharap dengan menggunakan skema cost recovery seperti Masela, maka secara ekonomis mungkin mereka berhitung lebih bagus, dan ada risiko juga yang didapat oleh Pemerintah, mengingat ini biayanya tidak sedikit," ujar Mamit.
Dihubungi secara terpisah, Manager Corporate Communication Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo tidak mau banyak berkomentar. Dia hanya bilang proyek IDD tahap II masih terus dibahas dengan pemerintah.
"Kami terus melanjutkan pembicaraan dengan Pemerintah Indonesia terkait Proyek IDD. Sesuai kebijakan Perusahaan, kami tidak dapat mendiskusikan ketentuan-ketentuan komersial maupun proses diskusi yang sedang berlangsung dengan Pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (27/6).
(Baca: Kesepakatan Blok Masela Dapat Memicu Peningkatan Investasi Migas Asing)
Pemerintah menargetkan pembahasan rencana pengembangan proyek IDD rampung lebih cepat dibandingkan pembahasan Blok Masela. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pernah menyebut proyek IDD bisa disetujui sebelum Lebaran tahun ini. Namun persetujuan proyek tersebut justru lebih lambat dibandingkan Blok Masela.
Pemerintah dan kontraktor proyek IDD belum sepakat terkait keekonomian proyek. Pasalnya, Chevron mengajukan syarat penambahan bagi hasil di atas 10%. Tambahan ini bisa diperoleh menggunakan diskresi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Jadi kami masih komunikasikan ini bagaimana tindak lanjutnya, makanya yang IDD keliatannya agak telat," ujar Dwi saat ditemui Katadata.co.id pekan lalu.
Sebagaimana diketahui, Chevron sudah berulang kali mengajukan proposal rencana pengembangan Lapangan Gendalo-Gehem. Awalnya Chevron mendapatkan persetujuan PoD pada tahun 20o8. Namun Chevron mengajukan revisi PoD proyek IDD tahap II pada 2013 karena harga minyak naik.
Nilai investasi proyek IDD tahap II pun naik menjadi US$ 12 miliar. Namun proposal poD tersebut langsung ditolak oleh pemerintah.
Chevron kemudian mengajukan lagi rencana pengembangan proyek IDD tahap II dengan nilai investasi US$ 9 miliar dan permintaan insentif berupa investment credit di atas 100% pada akhir 2015. Proposal tersebut kembali ditolak oleh pemerintah.
Pada tahun ini, Chevron kembali mengajukan proposal revisi rencana pengembangan proyek IDD Tahap II. Chevron juga mengajukan perpanjangan kontrak dengan skema gross split untuk Blok Rapak dan Ganal.
(Baca: Pembahasan Keekonomian Proyek IDD Chevron dan Pemerintah Berjalan Alot)