Tak Jual Solar Bersubsidi, AKR Corporindo Berbisnis Hingga Berseni

Sorta Tobing
23 Agustus 2019, 18:30
SPBU BP-AKR
AKR
Ilustrasi. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik BP dan AKR Corporindo. Sejak Mei lalu AKR menghentikan penjualan solar bersubsidi. Perusahaan menilai harga jual produk itu tidak lagi menguntungkan.

Sejak 12 Mei lalu PT AKR Corporindo Tbk tak lagi menjual solar bersubsidi di seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) miliknya. Keputusan ini terpaksa dilakukan karena perusahaan menganggap penjualannya tak lagi menguntungkan.

Direktur AKR Corporindo Suresh Vembu mengatakan harga jual solar bersubsidi sudah tidak lagi sesuai keekonomian sejak pemerintah menerbitkan formula harga yang baru. “Formula harganya kurang pas,” katanya pada Juni lalu.

Namun, penghentian ini sifatnya sementara. AKR masih membuka diskusi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Harapannya, akan ada ketentuan harga baru yang lebih sesuai.

Perusahaan tetap melakukan penjualan solar nonsubsidi dan industri saat ini. AKR memiliki SPBU di 143 titik di seluruh Indonesia dan sekitar 130 SPBU terdaftar menjual solar.

Penghentian penjualan solar bersubsidi ini hanya berselang setahun setelah AKR mendapatkan penugasan dari pemerintah. Padahal penunjukkan ini untuk masa setengah dekade.

Dengan keluarnya AKR, maka tinggal Pertamina yang melakukan penjualan tersebut. Jatah solar bersubsidi untuk AKR mencapai 234 ribu kiloliter, tapi baru terealisasi sekitar 100 ribu kiloliter. Sisanya, mungkin akan dialihkan ke Pertamina. Pemerintah sampai sekarang belum memutuskan.

(Baca: Kementerian ESDM Sarankan AKR Beli Solar dari Pertamina)

Kementerian ESDM sempat mengimbau agar AKR membeli solar dari Pertamina. Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Djoko Siswanto menilai cara ini lebih ekonomis dibandingkan harus mengimpor solar dan menjualnya dengan harga subsidi.

Setiap badan usaha nantinya bisa menawar harga solar yang dibeli dari Pertamina dengan cara bisnis ke bisnis (B to B). Namun, apabila stok solar milik Pertamina sudah habis, maka diperkenankan untuk impor. "Yang teken rekomendasi (impor) kan saya. Sebelum diteken, saya akan suruh negosiasi dulu dengan Pertamina, selama barangnya ada bisa B to B," katanya pada Juli lalu.

(Baca: Bersaing dengan Pertamina, AKR - BP Buka SPBU Ke-10 di Tol Cipularang)

Sementara itu, BPH Migas memprediksi penyaluran solar bersubsidi tahun ini akan melebihi kuota 14,5 juta kiloliter. Kelebihannya bisa sampai 0,8 juta sampai 1,3 juta kiloliter

Sampai Juli 2019, realisasinya sudah mencapai 9,04 juta kiloliter. Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengatakan, kelebihan kuota terjadi karena banyaknya praktik penyelewengan BBM bersubsidi di wilayah pertambangan dan perkebunan.

Padahal kendaraan tambang dan perkebunan tidak berhak menggunakan BBM bersubsidi. Menurut catatan Pertamina, 10 provinsi yang kerap melakukan penyelewengan adalah Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bangka Belitung.

Dari Bahan Kimia Hingga Pemilik Museum Seni

Kembali ke AKR. Perusahaan yang telah berdiri lebih sejak 1960 ini awalnya bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Soegiarto Adikoesoemo mendirikannya untuk berdagang bahan kimia dasar.

Saat ini usia Soegiarto sudah 81 tahun. Menurut Forbes, ia berada di peringkat 39 dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia pada 2018. Sampai Maret 2019, total kekayaannya mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...