Waspadai Utang, Tiongkok Tak Beri Banyak Stimulus Ekonomi Atasi Corona
Pemerintah Tiongkok enggan membuat atau memberikan banyak stimulus ekonomi untuk mengatasi dampak pandemi corona. Alasannya, jor-joran memberikan stimulus bakal berpotensi meningkatkan utang negara.
Presiden Xi Jinping dalam pertemuan parlemen yang digelar Jumat (22/5) menyatakan Tiongkok tak menetapkan target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Jika target ditetapkan, pemerintah harus fokus pada pemberian stimulus yang kuat.
"Hal itu tidak sejalan dengan tujuan dari pengembangan ekonomi dan sosial kami," ujar Xi dilansir dari Reuters pada Senin (25/5).
Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang dalam kesempatan yang sama menyatakan program stimulus dalam proposal anggaran tahun ini hanya berkisar 2% dari pengeluaran ekonomi tahun lalu. Seperti dikutip dari Forbes.com, Tiongkok kemungkinan hanya menyuntikan stimulus ekonomi sebesar 3,6 triliun yuan atau setara US$ 500 miliar untuk mengatasi krisis akibat pandemi corona.
Dana tersebut bakal digunakan untuk menciptakan 9 juta lapangan pekerjaan. Selain itu, pemerintah Tiongkok bakal menerbitkan obligasi pemerintah sebesar 1 triliun yuan atau sekitar US$ 140 miliar. Utang tersebut bakal digunakan untuk meningkatkan bisnis yang terpukul akibat pandemi corona.
(Baca: Efek Pandemi Tak Pasti, Tiongkok Hapus Target Pertumbuhan Ekonomi 2020)
Perencana keuangan terkemuka di Negara Panda iu memang ragu-ragu meminta pemerintah meminjam lebih banyak uang untuk memberikan dana kepada publik. Hal itu berbeda dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat, Hong Kong dan negara lainnya yang memberikan banyak stimulus demi mengatasi Covid-19.
Tiongkok memang enggan memberikan banyak stimulus seperti kemudahan kredit meski terjadi perlambatan ekonomi, bahkan sebelum pandemi corona. Sebab, kebijakan stimulus dapat meningkatkan risiko utang.
Tiongkok pernah menerbitkan banyak stimulus ekonomi dengan mengandalkan utang pada krisis ekonomi global satu dekade lalu. Namun, kebijakan tersebut membuat Tiongkok terbebani utang dan proyek-proyek yang boros.
Mantan Kepala Regulator Sekuritas Tiongkok Xiao Gang menyatakan bank sentral Tiongkok atau People's Bank of China harus menentang langkah-langkah pelonggaran kuantitatif gaya The Fed dan ECB. Penasihat pemerintah juga menyampaikan kepada pers pekan lalu bahwa Tiongkok tidak perlu meluncurkan upaya stimulus ekonomi yang besar untuk menyelamatkan diri dari virus corona.
Dilansir dari NYTimes, Pemerintah Tiongkok justu mengeluarkan serangkaian kebijakan dengan biaya yang rendah. Salah satunya yaitu pemotongan biaya internet sebesar 15% pada tahun ini.
Di sisi lain, pemerintah Tiongkok bakal meningkatkan subsidi untuk asuransi kesehatan penduduknya. Namun besarannya hanya berkisar US$ 4 per tahun per orang.
Selain itu, meski ekonomi melambat, pemberantasan kemiskinan di pedesaan tetap berjalan. Sebab, hal itu menjadi tujuan utama dari Presiden Xi Jinping.
Pemerintah Tiongkok juga meneruskan peningkatan anggaran untuk militer sebesar 6,6% tahun ini. Meski pengeluaran anggaran pemerintah secara keseluruhan turun 0,2%.
(Baca: Trump Tutup Komunikasi dengan Tiongkok, Perang Dagang Makin Rumit)
Risiko Ekonomi Tiongkok
Ekonomi Tiongkok anjlok untuk pertama kalinya pada kuartal pertama tahun ini sebesar 6,8%. Sebab, pandemi corona membuat target penambahan lapangan kerja tak tercapai.
Selain itu, ekspor, konsumsi, dan investasi turun seiring dampak karantina wilayah terhadap manufaktur dan permintaan domestik dan luar negeri.
Ada dua risiko yang membayangi ekonomi Tiongkok saat ini. Pertama yaitu para ekonom Tiongkok yang meremehkan guncangan ekonomi dan merekomendasikan paket bantuan yang tidak besar.
Padahal ekonom yang berpengalaman cenderung memberikan usul terhadap stimulus yang lebih besar. Ahli Strategi Makro untuk Nordea Asset Management Sebastien Galy khawatir Tiongkok kehilangan sasaran ekonominya.
Risiko kedua yaitu kalangan nasionalis mendesak Xi Jinping membatalkan kesepakatan fase satu perdagangan dengan Amerika Serikat. Padahal pejabat kedua negara tampak memiliki kesepakatan yang baik pada dua pekan lalu.
Apalagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan tidak akan merundingkan kembali kesepakatan dagang dengan Tiongkok. Meskipun Negara Tirai Bambu itu harus mengimpor sejumlah besar komoditas yang tidak diperlukan saat ini.
"Kemungkinan tidak ada pihak yang bertindak sangat jauh mengingat dampaknya pada ekonomi mereka dan pasar saham. Kami tetap positif pada Tiongkok bisa rebound dan menyebar ke pasar negara berkembang," ujar Galy dikutip dari hellenicshippingnews.com.
Di sisi lain, indikator ekonomi utama Tiongkok menunjukkan tanda pemulihan yang moderat pada April 2020 dari rekor terendah awal tahun ini. Investasi aset dan penjualan retail tetap turun meskipun lebih moderat, dan produksi industri bangkit kembali untuk pertama kalinya tahun ini.
Kesehatan masyarakat mulai terkendali terutama di pusat ekonomi Tiongkok seperti Guangzhou, Beijing, dan Shanghai. Hal itu menimbulkan optimisme aktivitas ekonomi bakal pulih, serta penawaran dan permintaan domestik kembali membaik.
(Baca: Prediksi Pemulihan Ekonomi Pasca-Corona, dari Kurva V sampai Logo Nike)