Sepakati UU Minerba, DPR dan Pemerintah Menuai Banyak Kritik

Image title
Oleh Verda Nano Setiawan - Febrina Ratna Iskana
12 Mei 2020, 16:16
dpr, ruu minerba, pemerintah, pertambangan
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Ilustrasi, alat berat bongkar muat batu bara di Jakarta, Jumat (15/11/2019). Sejumlah elemen masyarakat mengkritik langkah pemerintah dan DPR melanjutkan pembahasan RUU Minerba.

“Perilaku DPR RI ini seperti merampok di tengah kebakaran, di tengah publik yang terdampak, dan akan terdampak oleh pertambangan, yang sedang berjuang melawan Covid-19," ujar Edo.

(Baca: Pemerintah Ingin Aturan Divestasi 51% Lebih Luwes dalam RUU Minerba)

Lebih lanjut, dia mengatakan, pembahasan RUU Minerba secara daring ternyata tidak membuka partisipasi publik. Sebab, media dan publik dikeluarkan dari pembahasan secara daring tersebut. "Undang-Undang yang akan disahkan DPR ini dipastikan sarat akan kepentingan investor,” katanya.

Semantara itu, Aryanto Nugroho dari PWYP Indonesia menilai RUU Minerba mereduksi kewenangan Pemerintah Daerah yang merupakan mandat reformasi. Dengan kata lain, RUU Minerba bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk memperkuat kemandirian daerah.

"Alasan penarikan kewenangan perizinan ke pusat karena penerbitan izin di daerah diduga banyak korupsi, sangat tidak relevan," ujar Aryanto. 

Menurut dia, masalah di daerah merupakan masalah korupsi politik dan penegakan hukum, bukan masalah visi dan filosofi pembagian kewenangan pusat dan daerah. Penarikan kewenangan perizinan ke pusat justru kontradiksi dengan upaya pembinaan dan pengawasan yang telah dibangun oleh pemerintah daerah.

“Selain itu, apakah Pemerintah Pusat sanggup melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap ribuan izin tambang yang tersebar di seluruh Indonesia? Bagaimana proses transisinya? Baik transisi SDM maupun kelembagaan?" ujarnya.

Berdasarkan catatan masyarakat sipil, proses peralihan perizinan dari Kabupaten ke Provinsi sampai hari ini masih memiliki kendala. Selain itu, dia menyebut RUU MInerba berpotensi menyebabkan eksploitasi besar-besaran tanpa kontrol dengan dihapuskannya ketentuan klausul pengendalian produksi dan ekspor.

Perwakilan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah mengatakan RUU tersebut tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan. Selain itu, RUU Minerba dibahas tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi masyarakat.

"Pembahasan revisi RUU Minerba lahir dari titipan oligarki batu bara pada politisi senayan beserta parpolnya masing-masing sebagai akibat dari bentang politik kita yang dicengkeram oleh oligarki,” ujar Merah.

Lebih lanjut, dia mengatakan, RUU Minerba justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batu bara. Sedangkan partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya, seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya.

"Pembicaraan dalam sidang hanya seputar birokrasi perizinan, investasi dan divestasi saham, keselamatan rakyat korban tambang, ancaman kesehatan akibat tambang dan batu bara, hingga masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup diabaikan,” katanya.

Menurut Merah, sebelum RUU Minerba disahkan, ada 44 persen daratan kepulauan Indonesia dikapling konsesi pertambangan dan migas. Jika RUU tersebut resmi diketuk, perluasan penambangan tidak akan mengenal batas lagi dan bisa memicu pengusiran warga sekitar tambang.

"Hal itu bisa menyebabkan pengungsi di atas tanah sendiri karena sudah dikuasai pertambangan,” ujar Merah.

(Baca: RUU Minerba Menjamin Perpanjangan Kontrak Perusahaan Batu Bara)

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...