Kilang Minyak Pertamina Dipermak, BBM Tak Bisa Lagi Jadi Andalan

Image title
11 Desember 2020, 13:11
kilang, pertamina, bbm, ngrr, rdmp, tuban, cilacap, balongan, balikpapan, dumai
123rf
Pertamina sedang mengerjakan lima proyek kilang untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak atau BBM dalam negeri.

Pemerintah telah menargetkan 20% dari total penjualan otomotif merupakan kendaraan listrik pada 2025. Artinya, perhitungan kebutuhan BBM di masa depan perlu dihitung ulang. Termasuk pula kebutuhan kilangnya. “Usia ekonomis kilang cukup panjang, investasinya mahal, pengembalian investasinya lama, dan marginnya pun rendah,” kata Fabby. 

Jangan sampai kilang yang nantinya dibangun tingkat utilisasinya rendah. Apalagi, ada pula target produk minyak 1 juta barel per hari pada 2030. Ketika Pertamina selesai membangun kilang, sebelum target tersebut terealisasi, bisa jadi perusahaan akan kesulitan mendapat pasokan minyak mentah.

Hal berbeda Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal katakan. Menurut dia, kebutuhan BBM dalam negeri akan terus meningkat setiap tahunnya seiring kenaikan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, proyek pengembangan kilang harus tetap berjalan. 

Program kendaraan listrik membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mencapai posisi seperti di Amerika Serikat. Di samping itu, harganya saat ini juga mahal.

Kebutuhan bahan bakar fosil diprediksi masih akan dominan, setidaknya sampai 20 tahun ke depan. “Efek berganda yang diciptakan dari pengembangan dan pengoperasian kilang-kilang baru ini juga perlu dilihat lebih jauh,” ucapnya.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat dari sisi bisnis dan perspektif korporasi, pembangunan kilang tidak terlalu menguntungkan. Namun, faktanya, kebutuhan impor BBM dalam negeri ke depan masih akan terus terjadi. “Hal itu perlu diantisipasi," kata dia.

Program pencampuran bahan bakar diesel dengan bahan bakar nabati (BBN) atau kerap disebut biodiesel 30 alias B30 dan kendaraan listrik memang perlu dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan. Kehadirannya dapat mengendalikan konsumsi BBM ke depan.

Namun, pembangunan infrastruktur tempat penyimpanan dan rantai pasokan untuk pendistribusian BBM tetap perlu dilakukan. "Agar kita tidak terdikte pasar dan bisa memanfaatkan momentum ketika harga rendah, kita bisa memperbanyak stok," ujar Pri.

Kilang UP IV Cilacap
Kilang UP IV Cilacap (Katadata)

Kilang Perlu Terintegrasi dengan Petrokimia

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat pembangunan kilang baru masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Apalagi kilang tersebut nantinya bisa terintegrasi dengan industri petrokimia.

Impor minyak mentah memang cenderung akan terus meningkat seiring dengan rampungnya proyek kilang. Namun, secara keekonomian, impor crude lebih murah ketimbang Pertamina membeli produk BBM dari luar negeri.

Sementara program biodiesel dari minyak kelapa sawit dan kendaraan listrik harus tetap berjalan paralel dengan pengembangan sektor ini. "Program mobil listrik saya kira adalah jangka panjang dan memang Pertamina juga harus siap dengan kondisi ini," ujarnya.

Karena itu, program RDMP dan NGRR harus terintegrasi dengan petrokimia agar lebih ekonomis ke depannya. Pasalnya produk yang dihasilkan dari minyak mentah sangat banyak turunannya.

Fabby pun mengatakan potensi bisnis dari pengembangan kilang terintegrasi masih cukup menjanjikan. Apalagi produknya masih banyak dibutuhkan oleh pasar. Kebutuhan bahan baku petrokimia dapat mencapai 5,6 juta ton per tahun dan sekitar 55% masih produk impor.

Peluang pasar bisnis tersebut rupanya telah ditangkap oleh perusahaan pelat merah lainnya. PT Pupuk Indonesia berencana membangun pabrik petrokimia berdekatan dengan lapangan gas domestik.

Perusahaan berencana membangunnya di Kepualaun Yamdena, Maluku, dan Teluk Bintuni, Papua Barat. Hal ini seiring dengan beberapa lapangan jumbo yang akan mulai beroperasi dalam beberapa tahun mendatang.

Direktur Utama Pupuk Indonesia Ahmad Bakir Pasaman mengatakan pabrik petrokimia di Kepulauan Yamdena nantinya akan memproduksi amoniak sebesar 250 ton per hari dan methanol sebesar 1 ribu ton per hari.

Pembangunan pabrik di pulau tersebut merupakan tindak lanjut kerja sama dengan Inpex untuk pengembangan Blok Masela. "Kami sudah tandatangan nota kesepahaman dengan Inpex untuk gas sebesar 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD),” kata dia pada 3 Desember lalu.

Untuk pembangunan pabrik di Teluk Bintuni, perusahaan tengah berdiskusi dengan BP Tangguh terkait alokasi gas. Diskusi juga Pupuk Indonesia lakukan dengan Genting Oil, operator Blok Kasuri di Papua Barat soal harga gas.

Di kawasan ini, kapasitas pabrik amoniak mencapai 2 ribu ton, pabrik urea 2.500 ton, dan pabrik methanol 3 ribu ton per hari. Investasinya, menurut Ahmad akan sangat besar.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...