Jokowi Naikkan Setoran Batu Bara, Ini Respons Pengusaha Tambang
Asosiasi Pengusaha Batu bara Indonesia (APBI) menilai pemberlakuan tarif progresif royalti atau setoran hasil penjualan batu bara berdampak signifikan terhadap kondisi keuangan perusahaan pertambangan.
Presiden Joko Widodo menerapkan tarif progresif royalti atau setoran hasil penjualan batu bara berdasarkan harga yang berlaku saat ini. Tarif ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan terbitnya PP 15/2022 berimplikasi pada operasional industri pertambangan batu bara yang akan lebih menantang untuk dapat melakukan efisiensi. Pasalnya sebagian besar produksi batu bara nasional berasal dari tambang-tambang yang sudah cukup tua.
Itu berarti cadangan yang menipis yang berdampak pada beban biaya operasi yang semakin tinggi. Kenaikan biaya operasi juga semakin dirasakan dengan naiknya biaya bahan bakar dan alat berat. Oleh karena itu dia menilai berlakunya tarif progresif royalti batu bara memberatkan industri.
“Semakin tingginya tarif royalti ditambah beban tarif perpajakan lainnya termasuk kedepannya tambahan dari pajak karbon, maka kondisi ini dapat menyulitkan perusahaan untuk berinvestasi di tengah era transisi energi,” kata Hendra kepada Katadata.co.id, Selasa (19/4).
Hendra juga mengatakan bahwa saat ini akses terhadap pendanaan untuk investasi berbasis batu bara semakin berkurang. Hal ini bisa berpengaruh terhadap rencana investasi untuk peningkatan nilai tambah dimana aspek keekonomian masih sulit karena teknologi yang terhitung mahal.
Menurutnya, hal itu akan menyulitkan pelaku usaha, terutama jika kondisi harga komoditas terkoreksi ditengah makin kuatnya tekanan terhadap komoditas batu bara. Penarikan royalti sekitar 14% dinilai akan mempersulit rencana proyek peningkatan nilai tambah, karena keekomiannya menjadi lebih menantang.
“Tentu saja Pemerintah mengharapkan porsi kenaikan yang lebih besar. Oleh karena itu kami berharap pemerintah dapat memberikan insentif bagi pelaku usaha agar bisa survive berinvestasi di era transisi energi dan tantangan yang lebih besar kedepannya,” ujar Hendra.
Sementara itu Presiden Direktur PT Adaro Energy, Garibaldi Thohir, mengaku tak keberatan dengan adanya aturan tersebut. Ia menilai, dalam proses pembuatan PP tersebut, Adaro kerap diundang pemerintah untuk dimintai pendapat.
“Kami yakin pemerintah juga ingin di satu sisi seimbang. Dimana perusahaan batu bara ini bisa terus berkontibusi untuk Indonesia,” ujarnya dalam konferensi pers daring pada Senin (18/4).
Pria yang kerap disapa Boy ini menilai PP 15/2022 memberikan insentif bagi para pelaku usaha batu bara yang menjual produknya di dalam negeri, dengan tarif royalti 14%. “Tentunya dampak dari PP itu ke Adaro ada, tapi kami bersyukur 5 bulan terakhir kami dapat anugerah (lonjakan harga batu bara) yang luar biasa,” sambungnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai ditetapkannya PP 15/2022 akan mendongkrak keuangan negara karena saat ini harga batu bara dalam posisi yang cukup tinggi.
“Kebijakan ini sudah sangat tepat karena saat ini harga batu bara masih top to the moon. Negara harus bisa mengambil keuntungan ditengah kenaikan harga batu bara saat ini sehingga batu bara bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dari PNBP yang diberikan,” kata Mamit.
Ia menilai kebijakan ini tidak akan membuat rugi para pengusaha batu bara karena penarikan royalti disesuaikan dengan Harga Batu Bara Acuan (HBA). ”Ini sangat fair karena disesuaikan dengan HBA,” ujarnya.
Pemerintah bermaksud untuk meningkatkan setoran atau tarif royalti di tengah kenaikan harga batu bara dengan terbitnya PP 15/2022. Semakin tinggi harga batu bara maka semakin besar setoran royalti atau PNBP yang diterima pemerintah.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Lana Saria, mengatakan tarif PNBP Generasi 1 berada pada kisaran 14% hingga 28% sesuai dengan masing-masing HBA. Sementara tarif PNBP Generasi 1 Plus berada di 20% hingga 27%.
Walau tarif PNBP yang dikenakan berbeda, tarif royalti penjualan batu bara di dalam negeri sama-sama sebesar 14%. "Karena harganya kami patok untuk listrik US$ 70 per ton dan industri non listrik seperti pupuk, semen, dan lain-lain US$ 90 per ton,” kata Lana.
Pada paparannya, Lana menjelaskan lima lapisan (layer) penentuan tarif royalti batu bara sebagai berikut:
IUPK dari PKP2B Generasi 1:
HBA kurang dari US$ 70 per ton, tarif royalti 14%
HBA antara US$ 70 hingga US$ 80 per ton, tarif royalti 17%
HBA antara US$ 80 hingga US$ 90 per ton, tarif royalti 23%
HBA antara US$ 90 hingga US$ 100 per ton, tarif royalti 25%
HBA lebih dari US$ 100 per ton, tarif royalti 28%.
IUPK dari PKP2B Generasi 1 Plus:
HBA kurang dari US$ 70 per ton, tarif royalti 20%
HBA antara US$ 70 hingga US$ 80 per ton, tarif royalti 21%
HBA antara US$ 80 hingga US$ 90 per ton, tarif royalti 22%
HBA antara US$ 90 hingga US$ 100 per ton, tarif royalti 24%
HBA lebih dari US$ 100 per ton, tarif royalti 27%.
Lana mengatakan tarif berjenjang sampai dengan lima layer ini bertujuan untuk menjaga stabilitas keekonomian kegiatan pertambangan. Sehingga pada saat harga tinggi, negara mendapatkan peningkatan penerimaan negara. Namun pada saat harga rendah pelaku usaha tidak terbebani tarif yang tinggi.
Sementa itu, aturan mengenai pengenaan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada PKP2B Generasi 1 dan Generasi 1 Plus diatur secara berbeda walau tarif PNBP sama-sama dikenakan 13,5%.
“Yang membedakan adalah pengenaan pajaknya. Pajak PKP2B Generasi 1 mencapai 45% sesuai kontrak atau perjanjian, sementara Generasi 1 Plus pajaknya mengikuti aturan yang berlaku. Dengan diterbitkannya UU No 7 tahun 2021 yang berlaku saat ini, maka PPh senilai 22%,“ tukas Lana.