Sejarah Take or Pay yang Bebani PLN Rp 18 T Imbas Kelebihan Listrik

Happy Fajrian
27 September 2022, 16:38
listrik, pembangkit listrik, kelebihan pasokan, oversupply, pln
ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). PLTU berkapasitas 2 x 50 megawatt yang dibangun PT Dian Swastika Sentosa Power Kendari dengan nilai investasi sekitar Rp2,6 triliun itu saat ini telah terkoneksi sampai di Sulawesi bagian barat dan Sulawesi selatan sementara untuk Sulawesi Tenggara wilayah kepulauan masih dalam tahap pembangunan menara tiang sutet.

PLN saat ini mengalami kelebihan pasokan atau oversupply listrik sekitar 6 gigawatt (GW). Dengan skema take or pay yang berlaku dengan produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), PLN harus membayar oversupply listrik meski tak terserap oleh masyarakat dan pelaku usaha.

Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dalam rapat Panja RAPBN 2023 mengatakan kelebihan suplai listrik selama ini menjadi beban dalam keuangan negara. Pemerintah tetap membayarkan kompensasi kepada PLN sekalipun pasokan berlebih tersebut tidak dipakai.

Said menyebut pemerintah menanggung Rp 3 triliun untuk setiap 1 GW kelebihan pasokan listrik. Sehingga dengan kelebihan pasokan 6 GW, pemerintah membayar biaya mencapai Rp 18 triliun.

"Bisa dibayangkan kalau 1 giga itu, karena kontrak take or pay, maka harus bayar Rp 3 triliun, sebab per 1 giga itu (bebannya) Rp 3 triliun," kata Said beberapa waktu lalu.

Pasokan listrik pada tahun-tahun mendatang bisa meningkat lagi seiring kemunculan energi baru dan terbarukan (EBT). Dia memperkirakan bila EBT diterapkan maka pada 2030 PLN akan mengalami kelebihan pasokan hingga 41 GW.

Sejarah Penerapan Skema Take or Pay Kontrak Jual Beli Listrik PLN dan IPP

Sesuai namanya, take or pay berarti “ambil atau bayar denda”. Artinya PLN harus menyerap listrik yang diproduksi IPP sesuai dengan kontrak perjanjian jual beli listrik (PJBL) berdasarkan availability factor (AF) atau faktor keterseidaan, dan atau capacity factor (CF) atau faktor kapasitas. Jika tidak, PLN harus membayar pinalti atau denda.

Namun perjanjian jual beli ini tak hanya berlaku take or pay, melainkan juga delivery or pay dari sisi IPP. Artinya, jika IPP tidak mengirimkan listrik sesuai AF/CF maka mereka harus membayar pinalti atau denda kepada PLN.

Inilah yang membebani keuangan PLN karena pasokan listrik tersebut tidak terserap konsumsi. Berdasarkan data Kementerian ESDM, kondisi oversupply listrik ini telah berlangsung cukup lama, yakni sejak 2011, bahkan berpotensi lebih lama jauh ke belakang karena data yang tersedia hanya sampai tahun itu.

Menurut Manajer Program Tranformasi Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, kerugian dari skema take or pay tak hanya dari sisi ekonomi melainkan juga dari sisi lingkungan.

Menurut dia, skema take or pay diambil PLN akibat krisis ekonomi 1998 yang juga menyebabkan krisis pada produksi listrik karena PLN kesulitan membangun pembangkit listrik baru karena tak punya uang karena kontraknya yang dalam dolar AS menjadi lebih mahal imbas devaluasi rupiah dan sebagainya.

“Kebijakan take or pay untuk menarik investor dan pembangkit listrik independen untuk membangun pembangkit dan membantu pasokan listrik ke PLN,” ujarnya dalam Podcast di Atas Meja yang mengangkat tema "Take or Pay: Kebijakan yang Dipertahankan (PLN), Meski Kerap Merugikan", yang ditayangkan kanal YouTube Indonesia Corruption Watch pada 12 April 2022.

Meskipun pertumbuhan permintaan listrik pada awal-awal krisis melambat, namun pada 2004 ke atas sudah mulai pulih dan meningkat.

“Untuk menarik minat swasta membangun pembangkit listrik, skema yang ditawarkan adalah take or pay. Ibaratnya ada jaminan dari negara untuk membeli listrik sehingga yang mau jualan listrik jadi lebih tertarik,” ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa skema take or pay diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 yang direvisi menjadi Permen ESDM No.10 Tahun 2018 yang mengatur Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.

Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa take or pay listrik menggunakan kontrak jangka panjang, bahkan hingga 30 tahun, merupakan kontrak dari IPP generasi pertama pada 1992.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...