Pertamina Masih Tahan Harga BBM Non-subsidi, Pakar: Menambah Beban APBN

Ringkasan
- Pelemahan rupiah saat ini sudah memberatkan bagi produsen makanan minuman skala mikro dan kecil di Indonesia, dan akan mulai berimbas pada perusahaan skala menengah dan besar jika nilai tukar rupiah menembus Rp 16.000 per Dolar Amerika Serikat.
- Industri makanan olahan bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan rupiah menyebabkan mereka menaikkan harga jual atau mengurangi ukuran produk untuk menjaga kelangsungan bisnis.
- Keinginan untuk menjaga nilai tukar rupiah stabil antara Rp 15.500 sampai Rp 16.000 per Dolar Amerika Serikat untuk mendukung daya saing industri makanan olahan nasional, sementara pelemahan rupiah ke level Rp 16.000 berpotensi meningkatkan biaya produksi dan harga, serta mengganggu daya saing industri yang dapat memicu PHK.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai keputusan pemerintah untuk kembali menahan harga BBM non-subsidi untuk Agustus 2024 akan semakin menambah beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“Pertamina tidak rugi karena itu akan diganti pemerintah melalui APBN dalam bentuk dana kompensasi. Namun jika ditahan terus, menambah beban APBN” kata Fahmy kepada Katadata.co.id pada Kamis (1/8).
Meskipun tidak rugi, Fahmy mengatakan pembayaran kompensasi ini memang membutuhkan waktu dan Pertamina baru akan menerima dana tersebut di anggaran tahun berikutnya.
Fahmy menilai, keputusan penahanan harga BBM non-subsidi ini keliru. Sebab menurutnya pergerakan harga BBM non-subsidi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi ataupun dapat menyebabkan turunnya daya beli masyarakat.
“Konsumennya kan masyarakat kelas menengah ke atas. Beda dengan harga BBM subsidi yang harus dijaga karena dapat meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli,” ujarnya.
Selain tidak berdampak signifikan, dia menyebut harga BBM non-subsidi seharusnya dilepas ke mekanisme pasar sebab keputusan tersebut ada di domain Pertamina sebagai badan usaha.
“Yang bisa naik bisa turun tergantung harga minyak dunia. Tapi kalau pemerintah menahan, maka biaya untuk kompensasi akan bertambah besar,” ucapnya.
Terlebih dengan penetapan harga BBM pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa SPBU milik swasta secara kompak menaikkan harga, namun Pertamina justru tetap menahan harga sejak awal tahun ini.
“Kenaikan harga ini kan mengindikasikan adanya variabel seperti harga minyak dunia yang melonjak. Jika Pertamina tidak mengubah harga, artinya mereka menjual BBM non-subsidi di bawah harga pasar,” kata dia.
Meskipun menjual BBM di bawah harga pasar, Fahmy menyebut bisnis SPBU saat ini masih menarik. “Meskipun marginnya kecil, tetapi mereka kan mengharapkan omset yang besar,” katanya.
Sebelumnya, Pertamina Patra Niaga membenarkan bahwa hingga Agustus ini perusahaan memutuskan untuk tetap menahan harga BBM non-subsidi.
“Saat ini Pertamina Patra Niaga masih memantau pergerakan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah sebagai faktor utama yang mempengaruhi harga jual BBM non-subsidi di SPBU Pertamina,” kata Pjs. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (1/8).
Heppy mengatakan, penahanan harga BBM tersebut merupakan upaya Pertamina Patra Niaga untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian dan daya beli masyarakat.
“Oleh karena itu kalaupun dilakukan penyesuaian, harga BBM non-subsidi Pertamina seperti Pertamax Series dan Dex Series akan tetap kompetitif,” ujarnya.