Bulog Buang Beras 20 Ribu Ton, Buah dari Kebijakan Salah Hitung Impor?

Yuliawati
Oleh Yuliawati
6 Desember 2019, 10:11
Bulog, Budi Waseso, impor beras
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso (ketiga kanan) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution saat melakukan peninjauan gudang beras milik Perum Bulog di divre DI Jakarta-Banten, Kelapa Gading, Jakarta (10/1/2019).

Pada Desember 2017, harga beras medium Rp 9.526 per kilogram, padahal pada Agustus Rp 8.823 per kg. Pada Februari 2018 beras medium melonjak menjadi Rp 10.215 per kg. Berikut databoks harga beras:

Melihat lonjakan harga tersebut, pemerintah pun memutuskan impor beras demi memperkuat cadangan beras nasional. Apalagi, cadangan beras Bulog pada pertengahan Januari 2018 berkisar 994 ribu ton. Padahal menurut rekomendasi FAO, dengan konsumsi sekitar 32 juta ton beras per tahun, maka iron stock Indonesia seharusnya 800 ribu-1,12 juta ton.

Namun, keputusan impor beras menuai polemik karena menjelang panen beras yang dimulai pada pertengahan Februari 2018 dan berakhir pada Maret 2018. "Beras impor masuk mendekati panen ini menunjukkan tata kelola impor yang buruk sekali," kata Dwi.

Anggota Komsi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Darori mengkaitkan kebijakan kurang matang dalam impor beras tersebut sebagai sebagai biang keladi dari penumpukan beras Bulog. Darori meminta pemerintah segera mensinkronisasi data yang dimiliki beberapa kementerian atau lembaga seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, BPS, dan Bank Indonesia.

Dengan ada sinkronisasi diharapkan tak ada perbedaan data yang menjadi penyebab kekeliruan kebijakan impor. Darori menilai bila pun impor beras, sebaiknya dalam bentuk gabah kering yang kemudian diolah Bulog menjadi beras. Sebab, gabah dinilai memiliki daya tahan lebih lama hingga setahun.

Perbaikan Manajemen Kelola Beras

Selain faktor impor, Dwi menyoroti kemampuan penyaluran beras Bulog. Kinerja tahun ini dianggap kurang dibanding tahun lalu.

Pada tahun lalu, Bulog berupaya menggelar operasi pasar besar-besaran yang kemudian diketahui operasi pasar 2018 merupakan rekor penggelontoran beras terbesar sepanjang 10 tahun terakhir, yaitu mencapai 544 ribu ton.

Sementara itu, penyerapan beras dalam negeri hanya mencapai 1,5 juta ton dari target 2,7 juta ton. Hal ini terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang kurang bersaing.

(Baca: Target Penjualan Beras Bulog 1 Juta Ton Sulit Tercapai)

Untuk tahun ini, Bulog saat ini hanya mampu menyalurkan 3-4 ribu ton dari target 15 ribu ton per hari. Hingga awal Desember, penyaluran operasi pasar, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bencana alam mencapai 491 ribu ton. Sedangkan, penjualan komersil mencapai 215 ribu ton. Artinya, penjualan beras Bulog baru mencapai 706 ribu ton atau baru 70,6% dari target.

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Tri Wahyudi Saleh, menyatakan saat ini stok beras di pasar sedang tidak membutuhkan tambahan sehingga tercermin dari harga beras yang stabil. "Di pasar sudah banyak berasnya, jadi jenuh," kata Tri.

(Baca: Target Penjualan Beras Bulog 1 Juta Ton Sulit Tercapai)

Adapun mengenai penyaluran BPNT, Bulog mendapatkan kuota penyaluran BPNT sebesar 700 ribu ton. Namun realisasinya baru mencapai 122 ribu ton. "Artinya Bulog kalah saing dengan swasta dalam memasok BPNT, ini yang harus dibenahi," kata Dwi.

Dwi menilai banyak kelebihan dari program BPNT, sehingga Bulog tak seharusnya mengeluh dengan dicabutnya program beras sejahtera (Rastra) yang distribusinya ditangani oleh Perum Bulog, dan sebagian swasta. Saat berlangsung program Rastra, Bulog memang mampu menyalurkan beras dalam jumlah besar. Pada 2016, Bulog menyalurkan hingga 2,7 juta ton beras.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...