Kisah Desa Kutuh, Desa Miskin yang Disulap Jadi Desa Wisata di Bali

Dwi Hadya Jayani
13 September 2019, 09:46
pariwisata, desa kutuh, desa adat, desa percontohan pariwisata, Bali,
Dok. Mandiri Sekuritas/Iqbal Suminta
Desa Kutuh, Kabupaten Badung, Bali merupakan potret desa yang sukses berubah dari desa miskin menjadi desa percontohan di sektor pariwisata. Desa ini mendapat gelar juara 1 regional II dalam lomba desa yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri.

Partisipasi masyarakat juga terlihat dari model pengelolaan usaha terintegrasi dari Badan Usaha Milik Desa Adat (Bumda) yang merupakan program inovasi dari Desa Kutuh. Salah satunya tergambar dari unit usaha atraksi wisata khusus Tambis Paragliding.

Wisata Pantai Pandawa, Bali
Wisata Pantai Pandawa, Kabupaten Badung, Bali (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)

Sejak 1990, Desa Kutuh sering dijadikan tempat untuk latihan dan bisnis Paralayang. Bisnis tersebut pada awalnya dikelola oleh masyarakat secara mandiri. Sejak 2015, desa adat mengajak masyarakat untuk bergabung dan menjadikan bisnis tersebut sebagai bagian dari usaha desa.

Program Bumda memberikan banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Program tersebut dapat menyerap kurang lebih 250 tenaga kerja yang semuanya adalah krama atau penduduk Desa Kutuh. Selain itu, sektor yang dikelola Bumda membuka kesempatan bagi lebih dari 160 kepala keluarga untuk menjadi wirausaha sektor pariwisata dengan berjualan di sekitar area wisata, seperti Pantai Pandawa dan Gunung Payung.

(Baca: Berdenyutnya Desa-desa Wisata di Kaki Borobudur)

Kolaborasi Tanpa Menggeser Aturan Lokal

Desa Kutuh berkomitmen untuk menyelenggarakan program yang memberdayakan masyarakat. Sebagai contoh, program pengembangan unit usaha jasa transportasi pariwisata di mana Desa Kutuh menggandeng salah satu penyelenggara transportasi online, yaitu Grab.

Namun Desa Kutuh memiliki seperangkat kewajiban yang harus dipatuhi terkait dengan penyediaan armada angkutan, proteksi wilayah, sinergi dengan tempat penginapan, dan sinergi dengan kawasan wisata. Armada angkutan harus berasal dari masyarakat asli Desa Kutuh. Selain itu, manajemen transportasi dikelola langsung oleh Bumda.

“Grab harus melibatkan masyarakat Desa Kutuh sebagai driver. Lalu tarif yang berlaku disesuaikan kesepakatan antara pihak desa dan Grab," ujar Wena. Tarif yang digunakan tidak seperti tarif yang berlaku di Indonesia tetapi menyesuaikan dengan kondisi. Misalnya, tarif dari Kuta ke Kutuh Rp 100 ribu tetapi dari Kutuh ke Kuta bisa jadi lebih mahal, misalnya Rp 200 ribu.

(Baca: Proyek Jalan Pintas Mengwitani-Singaraja Ditarget Rampung Akhir Tahun)

Halaman:
Reporter: Dwi Hadya Jayani
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...