Ari Askhara, Sang Bankir yang Memimpin Garuda
Permasalahan mahalnya tiket, kondisi bisnis yang lesu, hingga kecelakaan pesawat terus menimpa dunia penerbangan nasional. Di tengah kondisi ini, Ari Askhara yang berpengalaman sebagai bankir dipercaya memimpin dan membenahi maskapai penerbangan pelat merah Garuda Indonesia.
Industri penerbangan nasional memang tengah diterpa segudang masalah. Dalam enam tahun terakhir, empat maskapai sudah tutup. Mereka tidak mampu mempertahankan bisnisnya, diantaranya Adam Air, Batavia Air, dan Mandala Airlines. Akhir tahun lalu, Grup Sriwijaya Air terpaksa menyerahkan operasionalnya ke Grup Garuda.
Garuda pun tak lepas dari kondisi yang buruk ini. Pada 2017, Garuda mengalami kerugian yang cukup besar, hingga Rp 3 triliun dengan total utang (liabilitas) yang mencapai Rp 13 triliun. Di tengah keuangan yang buruk ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menunjuk I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra sebagai Direktur Utama Garuda pada September 2018.
(Baca: Dari Garuda dan Wika, Ngurah Ashkara Balik ke Pelindo III Jadi Dirut)
Saat pertama kali menjabat Dirut Garuda, pria yang akrab dipanggil Ari ini mengatakan, perlu ada perbaikan pada struktur keuangan maskapai tersebut. Apalagi industri penerbangan sedang mendapat tantangan, seperti kurs rupiah, hingga sempat melejitnya harga minyak dunia.
Ari juga menjanjikan akan menekan kerugian Garuda menjadi kurang dari US$ 100 juta. "Tahun lalu kami rugi US$ 220 juta dan mudah-mudahan tahun ini (2018) kami bisa positif," katanya akhir tahun lalu. Dia pun menargetkan Garuda bisa untung Rp 1 triliun tahun ini.
Sejumlah langkah perbaikan di Garuda dilakukan melalui efisiensi dan mengubah strategi bisnis, salah satunya merestrukturisasi biaya sewa pesawat. Ari mengaktifkan kembali rute Jakarta - London yang sempat berhenti dan menghentikan pemesanan pesawat Boeing 737-8 MAX yang sempat bermasalah di maskapai lain. Bahkan, di bawah kepemimpinan Ari, Garuda bisa mencaplok grup maskapai penerbangan nasional Sriwijaya Air.
(Baca: Garuda Akan Konversi Utang Sriwijaya Air Jadi Saham Hingga 51%)
Namun, yang paling menghebohkan dalam beberapa waktu belakangan adalah Garuda mampu memperoleh laba bersih tahun lalu hingga US$ 809 ribu atau setara dengan Rp 11,5 miliar pada tahun lalu. Padahal, tahun sebelumnya masih rugi US$ 216,5 juta atau sekitar Rp 3 triliun.
Pencatatan laba bersih dalam laporan keuangan Garuda tahun lalu pun menjadi polemik. Piutang Mahata Aero Teknologi dalam pemasangan fasilitas wireless fidelity (wifi) dimasukkan dalam pos pendapatan Garuda. Dua Komisaris Garuda Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menolak laporan keuangan 2018. Mereka menilai pencatatan pendapatan dalam laporan keuangan tersebut tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
(Baca: Dua Komisaris Garuda Indonesia Menilai Perusahaan Harusnya Merugi)
Menurut mereka, seharusnya Garuda Indonesia mencatatkan rugi tahun berjalan senilai US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun. Namun, di dalam laporan keuangan malah tercatat memiliki laba tahun berjalan senilai US$ 5,01 juta atau setara Rp 70,76 miliar.
"Kami tidak sependapat dengan perlakuan akuntansi yang diterapkan," kata Chairal Tanjung yang juga adik pemilik Grup CT Corp Cairul Tanjung ini, usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Garuda Indonesia di Jakarta, Rabu (24/4).
Sementara, manajemen Garuda menyatakan pencatatan tersebut sudah sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 23. Bahkan, Direktur Teknik dan Layanan Garuda Indonesia Iwan Joeniarto mengatakan manajemen Garuda sudah melihat arus kas dan nilai transaksi, bahwa bisnis dengan Mahata ini menguntungkan ke depan. "Jadi manajemen sudah mengkaji secara kas dan nilai bisnisnya," kata Iwan.
(Baca: Tanda Tanya di Balik Rapor Biru Keuangan Garuda)