Sekitar 40% Perusahaan Publik Kurangi Karyawan Setahun Terakhir

Image title
Oleh Yudi S.A. - Viva Budy Kusnandar
12 Oktober 2017, 07:00
Buruh Pabrik
ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Buruh pabrik garmen di Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Senin (20/2).

Empat dari setiap 10 perusahaan publik di Indonesia melakukan pengurangan jumlah karyawan dalam kurun setahun terakhir. Fenomena ini terjadi di tengah upaya efisiensi yang ditempuh perusahaan untuk mengimbangi perlambatan pertumbuhan daya beli masyarakat.

Dari 560 perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia yang ditelusuri tim Katadata, 413 perusahaan memiliki kelengkapan data jumlah karyawan pada akhir Juni 2017 dan akhir Juni 2016. Dari 413 perusahaan itu, sebanyak 164 perusahaan atau sekitar 40% mencatatkan penurunan jumlah tenaga kerja.

Sedangkan sebanyak 93 perusahaan atau sekitar 47% mengalami kenaikan jumlah karyawan, dan 56 perusahaan (13%) tidak berubah.

Setiap tahun, angkatan kerja di Indonesia tumbuh 3-4%, dan secara teori seharusnya dapat terserap oleh pertumbuhan ekonomi yang dua tahun terakhir berkisar 5%. Sebagai cerminan pertumbuhan ekonomi, penjualan perusahaan secara teori juga seharusnya selalu naik setiap tahun.

Kenaikan penjualan perusahaan dapat diterjemahkan selain berupa peningkatan laba bersih, juga dalam bentuk penambahan jumlah karyawan.

Berdasarkan data, perusahaan publik yang paling banyak mengurangi pegawainya adalah produsen kopi bubuk Tora Bika dan coklat Beng-beng PT Mayora Indah Tbk sebanyak 1.757 orang. Sedangkan yang terbanyak kedua dan ketiga berdasarkan angka absolut berturut-turut adalah PT Bank Danamon Tbk sebanyak 1.683 tenaga kerja dan penjual mobil terbesar di Indonesia PT Astra International Tbk 1.518 orang.

Tira Ardianti, Head of Investor Relations Astra International, belum dapat mengkonfirmasi angka tersebut. "Sebaiknya jangan lihat turunnya, tapi lihat signifikan atau tidak dibanding total keseluruhan pegawai," katanya kepada Katadata.

Berdasarkan laporan keuangan Astra International, total karyawan per akhir Juni 2017 sebanyak 140.210 orang. Artinya, pengurangan karyawan setahun terakhir hanya sekitar 1% dari total karyawan perusahaan multisektor tersebut.

"Sejauh perusahaan masih mampu melakukan efisiensi dalam banyak hal, selain opsi memotong jumlah karyawan, maka hal tersebut (efisiensi di luar pengurangan karyawan) yang akan diutamakan," tambah Tira.

Ia menambahkan, sesuatu yang normal bagi semua perusahaan untuk menyesuaikan kegiatan operasional dengan permintaan pasar. Kalau permintaan pasar turun maka produksi turun, dan akibatnya biaya produksi harus diturunkan. Tapi sejauh ini hal tersebut bagi Astra tidak signifikan jumlahnya.

Dari 10 perusahaan terbesar nilai kapitalisasi pasarnya, lima perusahaan mengalami penurunan jumlah karyawan, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT HM Sampoerna Tbk, PT Astra International Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Gudang Garam Tbk. Lima emiten lain mengalami kenaikan jumlah karyawan, yaitu PT Bank Central Asia Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, dan PT United Tractors Tbk.

Penurunan jumlah karyawan pada banyak perusahaan terjadi di tengah membaiknya indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, kestabilan kurs rupiah, dan rendahnya inflasi, dalam beberapa tahun terakhir. Tapi perbaikan ini tak sepenuhnya sejalan dengan beberapa indikator mikroekonomi, termasuk daya beli masyarakat.

Indikasi yang ada menunjukkan bahwa walaupun daya beli secara agregat tumbuh, laju pertumbuhannya melambat. Contohnya data penjualan 55 kategori produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di Indonesia yang dicatat Nielsen menunjukkan pertumbuhan penjualan 3,4% pada periode Januari-Mei 2017, lebih rendah dibanding 10,7% pada periode yang sama tahun lalu.

Hal serupa juga dialami oleh negara lain seperti Vietnam dan India

Mengapa konsumsi datar?

Bank Dunia tidak memiliki jawaban jelas penyebab tingkat konsumsi masyarakat di Indonesia cenderung datar. Ekonom senior Bank Dunia, Frederico Gil Sander, hanya memiliki beberapa hipotesa yang berusaha menjelaskan, mengapa tingkat konsumsi masyarakat tidak mencerminkan keadaan makroekonomi yang bagus.

Hipotesanya antara lain adalah langkah reformasi pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang walaupun bersifat menguatkan dalam jangka panjang, telah menyebabkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian jangka pendek sehingga mengerem sementara laju roda ekonomi.

"Ada pergeseran dari pemberian subsidi (energi) menjadi pengeluaran modal (proyek infrastruktur)," ujar Frederico dalam laporan riset tanggal 3 Oktober 2017. "Juga ada peningkatan upaya untuk memacu rasio pajak terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Hal ini ke depannya akan memperkuat pemerintah dalam bekerja dan memberikan pelayanan ke publik.”

Sejumlah pengusaha yang selama bertahun-tahun cenderung lemah dan tidak transparan dalam pelaporan pajaknya, memilih menahan diri dalam berekspansi usaha. Sebab, mereka khawatir terhadap langkah pembenahan pemerintah yang bertujuan menggenjot penerimaan pajak.

Sejak menjabat pada Oktober 2014, Presiden Jokowi banyak mengalokasikan anggaran untuk program jangka panjang, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik, yang dampaknya baru bisa terasa dalam 2-3 tahun.

Senada dengan Bank Dunia, ekonom Faisal Basri menggarisbawahi bahwa hampir semua indikator makroekonomi membaik dan stabil dalam kurun waktu cukup lama. Hal ini jarang terjadi pada masa lalu.

Inflasi di bawah 4%, terendah sejak krisis 1998, suku bunga berangsur turun, dan cadangan devisa meningkat. "Kondisi umum perbankan relatif sehat. Nilai ekspor tumbuh dua digit, setelah 5 tahun berturut-turut selalu merosot," katanya.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...