Proyek OBOR Tiongkok: Kontroversial di Asia, Didukung Arab dan Rusia

Hari Widowati
15 Juli 2019, 12:31
One Belt One Road (OBOR) China, proyek OBOR, kerja sama China dan 18 negara Arab, kontroversi proyek OBOR
ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer
Seorang petugas mengukur mesin ball mill yang baru diproduksi di sebuah pabrik di Nantong, Tiongkok, Sabtu (29/6/2019). Tiongkok menandatangani kesepakatan dengan 18 negara Arab untuk proyek terkait One Belt One Road (OBOR).

Akan tetapi, mayoritas responden juga khawatir terhadap ambisi geostrategis Tiongkok. Sebanyak 70% responden menilai pemerintah di negaranya harus berhati-hati dalam negosiasi proyek-proyek infrastruktur OBOR. Responden dari Malaysia, Filipina, dan Thailand, sebagaimana dikutip Reuters, menilai hal ini penting agar pemerintah tidak terjerat utang.

(Baca: Belt and Road Initiative, Menghidupkan Kembali Kejayaan Jalur Sutra)

Dukungan Rusia dan Upaya Mendominasi Perdagangan Global

Selain menggaet negara-negara Arab, Tiongkok juga mendapatkan dukungan dari Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin belum lama ini menyetujui pembangunan jalan sepanjang 1.250 mil atau 2.012 km yang menghubungkan Belarus dengan Shanghai.

Proyek yang disebut sebagai Meridian Highway itu merupakan bagian dari jalur sepanjang 8.050 km yang menghubungkan Shanghai, Tiongkok dengan Hamburg, Jerman. Menurut The Moscow Times, konstruksi jalan raya yang terdiri atas empat lajur itu dimulai tahun ini dan diperkirakan tuntas pada 2033. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 131,3 triliun. Proyek ini diharapkan dapat mempersingkat rute kargo darat dari Tiongkok bagian barat ke Eropa Tengah.

Kepala Riset Pusat Analisis Rusia-Tiongkok, Sergei Sanakoyev, mengatakan proyek Meridian Highway ini bisa membuka tambahan lapangan kerja dan menambah pendapatan Rusia dari transit kendaraan kargo dari Tiongkok. Russian Holding, perusahaan yang dipimpin mantan petinggi Gazprom Alexander Ryazanov, menjadi salah satu pemilik dari proyek ini dan menguasai 80% lahan yang akan dilewati pembangunan jalan tersebut.

Hubungan Tiongkok-Rusia yang makin hangat di tengah perseteruan perang dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok menimbulkan berbagai spekulasi. Salah satunya adalah upaya Tiongkok-Rusia untuk menguasai perdagangan global. Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar dari Rusia dengan volume perdagangan melampaui US$ 100 miliar pada 2018.

Pengamat dari Carnegie Moscow Center Dmitri Trenin menilai hubungan Tiongkok-Rusia merupakan model baru dari hubungan dua negara besar. Eratnya kerja sama Tiongkok-Rusia membuat AS khawatir. Tiongkok-Rusia bukan hanya bekerja sama di bidang militer tetapi juga di bidang ekonomi dalam kerangka Penyatuan Ekonomi Eropa-Asia.

Seperti dilansir Nationalinterest.org, Zhigniew Brzezinski dalam bukunya The Grand Chessboard memprediksi koalisi Rusia-Tiongkok berpotensi berkembang menjadi kemitraan seperti di awal era Perang Dingin. Hanya saja, kali ini Tiongkok akan menjadi pemimpinnya sedangkan Rusia sebagai pengikut.

Bagi Rusia, kemitraan dengan Tiongkok adalah upaya untuk menyeimbangkan kekuasaan di antara negara-negara besar. Sebaliknya, bagi Tiongkok pengaruh yang kuat di sistem internasional tidak bisa dipisahkan dari kekuatan ekonomi negara tersebut. Dalam hal ini, proyek OBOR menjadi sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

(Baca: Punya OS Hongmeng, Huawei Dilaporkan Tertarik Gunakan OS Rusia)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...