Uni Eropa Bakal Kucurkan Paket Bantuan Rp 125 Triliun untuk Mesir

Hari Widowati
18 Maret 2024, 18:41
Ilustrasi bantuan Uni Eropa untuk Mesir
ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Abd El Ghany/FOC/sa.
Uni Eropa mengumumkan paket bantuan senilai 7,4 miliar euro atau sekitar Rp 125 triliun untuk Mesir yang kekurangan uang tunai.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Uni Eropa mengumumkan paket bantuan senilai 7,4 miliar euro atau sekitar Rp 125 triliun untuk Mesir yang kekurangan uang tunai. Bantuan tersebut diberikan karena ada kekhawatiran bahwa tekanan ekonomi dan konflik di negara-negara tetangga dapat mendorong lebih banyak migran ke pantai-pantai Eropa.

Kesepakatan yang menuai kritik dari kelompok-kelompok hak asasi manusia atas catatan hak asasi manusia Mesir itu ditandatangani di Kairo oleh Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, pada Minggu (17/3) sore. Acara penandatanganan ini dihadiri oleh para pemimpin Belgia, Italia, Austria, Siprus, dan Yunani.

"Kunjungan Anda hari ini merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam hubungan antara Mesir dan Uni Eropa," kata el-Sissi kepada para pemimpin Eropa yang hadir, seperti dikutip Kantor Berita AP News, pada Senin (18/3). Ia mengatakan bahwa kesepakatan ini telah mencapai "perubahan paradigma dalam kemitraan Mesir dan Uni Eropa."

Menurut misi Uni Eropa di Kairo, paket bantuan ini mencakup hibah dan pinjaman selama tiga tahun ke depan untuk negara dengan penduduk terpadat di dunia Arab ini. Sebagian besar dana tersebut, yakni 5 miliar euro atau sekitar Rp 86 triliun adalah bantuan keuangan makro.

Keduabelah pihak telah mempromosikan kerja sama mereka ke tingkat kemitraan strategis dan komprehensif. Kemitraan itu membuka jalan untuk memperluas kerja sama Mesir-Uni Eropa di berbagai bidang ekonomi dan nonekonomi.

"Uni Eropa mengakui Mesir sebagai mitra yang dapat diandalkan dan peran geostrategisnya yang unik dan vital sebagai pilar keamanan, moderasi, dan perdamaian di wilayah Mediterania, Timur Dekat, dan Afrika," demikian kutipan pernyataan bersama yang dirilis setelah pertemuan tersebut.

Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang negaranya memainkan peran utama dalam mencapai kesepakatan tersebut, memuji kesepakatan ini sebagai kesepakatan yang bersejarah.

"Inisiatif ini menunjukkan kesediaan kami untuk memperkuat dan mendorong metode struktural baru untuk kerjasama antara kedua sisi Mediterania," kata Meloni, pada KTT Mesir-Uni Eropa di Kairo.

Menurut Komisi Eropa, Deklarasi Bersama ini bertujuan untuk mempromosikan demokrasi, kebebasan fundamental, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Kedua belah pihak juga akan memperdalam kerja sama mereka untuk mengatasi tantangan-tantangan yang berkaitan dengan migrasi dan terorisme.

Mesir Jadi Tujuan Para Imigran dan Pengungsi

Uni Eropa akan memberikan bantuan kepada pemerintah Mesir untuk memperkuat perbatasannya, terutama dengan Libya, sebuah titik transit utama bagi para migran yang melarikan diri dari kemiskinan dan konflik di Afrika dan Timur Tengah.

Blok yang terdiri atas 27 negara ini juga akan mendukung pemerintah Mesir untuk menampung warga Sudan yang telah melarikan diri dari pertempuran antara para jenderal yang saling bersaing di negara mereka selama hampir satu tahun. Mesir telah menerima lebih dari 460.000 pengungsi warga Sudan sejak April tahun lalu.

Kesepakatan ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa serangan darat Israel yang membayangi kota Rafah di selatan Gaza dapat memaksa ratusan ribu orang untuk masuk ke Semenanjung Sinai di Mesir. Perang Israel-Hamas, yang kini memasuki bulan keenam, telah mendorong lebih dari 1 juta orang ke Rafah.

Mesir mengatakan ada 9 juta migran di negara ini, termasuk sekitar 480.000 yang terdaftar sebagai pengungsi dan pencari suaka di badan pengungsi PBB (UNHCR). Banyak dari para migran tersebut telah membangun bisnis mereka sendiri. Sementara itu, migran yang lain bekerja di sektor ekonomi informal yang besar sebagai pedagang kaki lima dan pembersih rumah.

Selama beberapa dekade, Mesir telah menjadi tempat perlindungan bagi para migran dari sub-Sahara Afrika yang mencoba melarikan diri dari perang atau kemiskinan. Mesir adalah tujuan dan tempat berlindung bagi sebagian orang, karena ini adalah negara yang paling dekat dan paling mudah dijangkau. Bagi yang lain, Mesir adalah tempat transit sebelum mencoba menyeberangi Laut Mediterania yang berbahaya ke Eropa.

Meskipun pantai Mesir belum menjadi tempat peluncuran utama bagi para penyelundup manusia yang mengirimkan perahu yang penuh sesak melintasi Laut Tengah menuju Eropa, Mesir menghadapi tekanan migrasi dari wilayah tersebut. Ancaman ini bertambah dengan perang Israel-Hamas yang dapat meluas melintasi perbatasannya.

Krisis Ekonomi Mesir

Kesepakatan ini akan menyuntikkan dana yang sangat dibutuhkan oleh perekonomian Mesir. Selama bertahun-tahun ekonomi Mesir terpukul oleh penghematan pemerintah. Hal ini diperburuk dengan pandemi virus corona, dampak dari invasi skala penuh Rusia ke Ukraina, dan perang Israel-Hamas di Gaza.

Mesir mencapai kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada awal bulan ini untuk meningkatkan pinjaman dana talangan menjadi US$8 miliar (Rp 125 triliun), naik dari nilai sebelumnya US$3 miliar (Rp 46,8 triliun), setelah negosiasi maraton. Kesepakatan dengan IMF ini dikombinasikan dengan reformasi ekonomi yang mencakup flotasi pound Mesir dan kenaikan tajam tingkat suku bunga utama.

Kesepakatan Uni Eropa ini mengikuti pola kesepakatan yang baru-baru ini ditandatangani dengan Tunisia dan Mauritania yang menjanjikan dana sebagai imbalan untuk memperkuat perbatasan mereka. Baik Tunisia maupun Mauritania merupakan titik-titik keberangkatan utama bagi para migran yang menyeberangi Mediterania dan bentangan Atlantik menuju Italia dan Spanyol, dan mereka juga dikritik karena dugaan pelanggaran terhadap para migran.

Paket ini menuai kritik dari kelompok-kelompok hak asasi internasional atas catatan hak asasi manusia Mesir. Amnesty International mendesak para pemimpin Eropa untuk tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Mesir.

"Para pemimpin Uni Eropa harus memastikan bahwa pihak berwenang Mesir menerapkan tolok ukur yang jelas untuk hak asasi manusia," ujar Eve Geddie, kepala kantor Amnesty International di Eropa. Geddie merujuk pada pembatasan media dan kebebasan berekspresi di Mesir dan tindakan keras terhadap masyarakat sipil.

Ketika ditanyai tentang moralitas kesepakatan tersebut awal pekan ini di Brussels, juru bicara Komisi Eropa Eric Mamer mengakui bahwa ada masalah di semua negara tersebut, namun tetap membela kemitraan tersebut.

"Ya, kami mengetahui kritik terkait hak asasi manusia di negara-negara tersebut dan jelas bahwa ini adalah sebuah masalah," kata Mamer kepada para wartawan. Namun, hal itu berarti bahwa negara-negara harus mencari cara untuk bekerja sama untuk memperbaiki situasi di lapangan, baik bagi penduduk lokal maupun migran yang datang ke negara-negara itu.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...