RUU Pertanahan Dinilai Tak Berpihak ke Petani dan Masyarakat Adat
Padahal, UUPA menyebutkan bahwa perpanjangan HGU hanya bisa dilakukan satu kali. "Ini bagaimana mau reforma agraria, tapi dia mengatur bagaimana korporasi semakin dapat alokasi tanah lebih lama," kata Dewi.
(Baca: Jokowi-JK Dinilai Gagal Realisasikan Agenda Reforma Agraria)
Lebih lanjut, Pasal 100 RUU Pertanahan menyebutkan bahwa pemegang hak yang menguasai tanah lebih dari batas yang diberikan hanya diwajibkan membayar pajak atas kelebihan tanahnya. Menurut Dewi, hal tersebut tidak tepat karena memberikan keleluasaan bagi korporasi atau pemilik HGU untuk menguasai lahan lebih besar.
"Dia tidak ditarik HGU-nya, hanya diberikan sanksi bayar pajak. Ini semacam pemutihan," kata Dewi.
Hal lain yang jadi persoalan adalah terkait adanya sistem pengadilan pertanahan dalam RUU Pertanahan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 79-81.
Dewi menilai pembentukan pengadilan pertanahan tak bisa menyelesaikan konflik agraria struktural yang selama ini terjadi. Justru, pembentukan pengadilan pertanahan dapat semakin melemahkan posisi petani, masyarakat miskin dan masyarakat adat atas tanah mereka.
Alasannya, melalui pengadilan pertanahan yang akan diutamakan adalah masalah legalitas. Padahal, banyak tanah petani, masyarakat miskin, dan masyarakat adat diukur bukan berdasarkan legalitas, melainkan prinsip keadilan sosial, pemulihan, hak, dan historis penempatan tanah secara turun-temurun. "Tanah mereka nanti akan dibilang ilegal, karena sistem hukumnya legalistik semata," kata dia.
Selain itu, Dewi juga mempersoalkan adanya ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Hal tersebut muncul melalui Pasal 89 dalam RUU Pertanahan.
Selain itu, ada ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan dalam Pasal 94 RUU Pertanahan. "Itu pasal-pasal karet yang berpotensi mempidanakan petani, masyarakat adat, dan masyarakat di pedesaan," ucapnya.