Lima Poin Kontroversial dalam RUU Pertanahan yang Akan Disahkan DPR

Hari Widowati
20 September 2019, 12:11
RUU Pertanahan, pasal-pasal kontroversial, kriminalisasi penggusuran, hak tanah adat
ANTARA FOTO/IRSAN MULYADI
Petani dan warga masyarakat yang tergabung dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB) mengadakan unjuk rasa di depan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara, Kamis (12/4/2018). DPR akan mengesahkan RUU Pertanahan pada 24 September 2019 meskipun ada penolakan dari berbagai pihak.

Ia menyoroti Pasal 36 RUU Pertanahan yang mewajibkan permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir. "Ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, otomatis negara memilikinya," kata Sandra. Ketentuan ini sama seperti praktik politik agraria zaman kolonial Belanda yang bernama Domein Verklaring di mana tanah yang tidak didaftarkan akan menjadi milik negara.

(Baca: Tolak Buka Data HGU, Walhi Sebut Menteri Agraria Lakukan Pembangkangan)

4. Nama pemegang izin HGU dirahasiakan

Salah satu poin yang juga mendapat penolakan dari berbagai kalangan adalah soal informasi pemilik hak atas tanah yang dirahasiakan kepada publik. Hal ini terdapat dalam pasal 45 ayat 9 RUU Pertanahan. Seperti dilansir Tempo.co, disebutkan dalam ayat tersebut bahwa informasi publik mengenai data pertanahan yang dikecualikan antara lain:
a. Daftar nama pemilik hak atas tanah
b. warkah
Forest Watch Indonesia (FWI) pernah menggugat Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membuka data HGU di Kalimantan. Menurut Komisi Informasi Publik (KIP), HGU bukan data pribadi karena merupakan hak mengusahakan tanah penguasaannya ada pada negara. Oleh karena itu, data HGU harus tersedia dan bisa diakses oleh publik.

5. Ancaman pidana bagi korban penggusuran

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herawati, mengatakan ada sembilan ancaman pidana dalam RUU Pertanahan. Pasal 89 berisi ancaman kriminalisasi bagi masyarakat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran.

"Masyarakat yang menyuarakan atau memperjuangkan kembalinya tanah dapat ditafsirkan melakukan pemufakatan jahat yang menyebabkan sengketa atau konflik pertanahan," kata Rahma seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (6/9).

Selain itu, pada pasal 94 terhadap ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan. Padahal, menurut catatan YLBHI, kasus pertanahan menjadi aduan yang paling banyak masuk ke lembaga tersebut selama 2018, yakni sebanyak 300 kasus.

Ombudsman Republik Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga meminta pembahasan RUU Pertanahan dihentikan karena belum mengakomodir konflik-konflik agraria. "Konflik-konflik terkait pertanahan ini masih kerap terjadi. Apakah UU ini bisa mereduksi konflik-konflik yang ada?" kata Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih dalam konferensi pers, Senin (9/9).

Menurut data Ombudsman, selama 2015-2019 jumlah kasus pertanahan yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada lembaga tersebut, yakni 4.806 kasus. Kasus maladministrasi proses Sertifikat Hak Milik (SHM) menempati laporan terbanyak periode Januari-Juni 2019 dengan 128 laporan. Kasus terbanyak kedua adalah penerbitan sertifikat (96 laporan) dan ganti rugi pembebasan tanah (46 laporan).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...