Impian Industri Kreatif Tanah Air Menapaki Jejak Korea

Yuliawati
Oleh Yuliawati
8 April 2019, 06:00
ekonomi kreatif
Katadata | Heri Susanto
Lokasi pameran London Book Fair.

Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Ekonomi Kreatif terhadap PDB nasional pun terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional mencapai 7,44% pada 2016.

Sementara nilai PDB ekonomi kreatif sudah tembus Rp 1000 triliun sejak 2017 yang tercatat sebesar Rp 1.009 triliun. Pada 2018 nilai PDB ekonomi kreatif bertambah menjadi Rp 1.106 triliun. Sementara proyeksi nilai PDB Ekraf pada 2019 sebesar Rp 1.211 trilliun.

Sumbangan ekonomi kreatif terhadap PDB ini mendapat caatan dari BPS yakni pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia belum merata. Data BPS mencatat, 65,4% dari 8,2 juta usaha ekonomi kreatif pada 2016 masih terpusat di Jawa.

Prioritas Film, Gim dan Musik

Sejak berdiri, Bekraf membagi 16 subsektor ekonomi kreatif. Dari ke-16 subsektor, terdapat tiga subsektor yang memiliki angka kontribusi tertinggi terhadap PDB. Kontribusi ekspor ketiganya pada 2016 yakni fesyen (54,54%), kriya (39,01%), dan kuliner (6,31%).

Meski pertumbuhan tiga subsektor tersebut melejit, Bekraf masih terus mengawal. “Bayangkan bagaimana kalau mereka itu bergejolak dan kinerjanya jatuh pasti akan menurunkan pertumbuhan ekonomi kreatif,” kata Direktur Riset dan Pengembangan Bekraf Wawan Rusiawan.

Bekraf juga memberikan perhatian khusus kepada tiga subsektor ekonomi kreatif yang menjadi prioritas yakni animasi dan film; aplikasi dan gim; dan musik. Ketiga subsektor ini dijadikan prioritas karena mereka mempunyai pertumbuhan yang tinggi, terutama film, animasi dan video yang tumbuh 10,6% pada 2016.

“Kami dorong sebagai subsektor harapan dan masa depan, di mana para milenial sekarang kan lebih banyak mengarah ke sana,” kata Wawan.

Secara umum, pelaku ekonomi kreatif menghadapi persoalan yang sama dalam mengembangkan bisnis yakni akses permodalan, kepercayaan investor, keterbatasan manajemen yang berkualitas, dan akses terhadap jaringan.

Namun,  secara khusus ketiga subsektor prioritas tersebut memiliki tantangan yang unik.  

Deputi Pemasaran Bekraf, Joshua Simandjuntak, menyatakan menyebut pengembang gim lokal menghadapi masalah  teknologi seperti kesulitan mengakses software development kit. Perangkat tersebut dibutuhkan agar gim dapat tampil dalam bentuk platform konsol.

(Baca Edisi Khusus: Langkah Panjang Gim Lokal Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri )

Pengembang lokal kesulitan mengakses software tersebut karena Indonesia dimasukan dalam daftar hitam. Hal ini ditengarai masifnya pembajakan. Sehingga untuk masuk platform konsol pengembang lokal perlu bekerja sama dengan pihak lain di luar Indonesia atau misalnya membuka kantor cabang di negara lain.

Pengembang lokal juga menghadapi persoalan pemasaran untuk dapat akses pasar ke luar negeri. Untuk mengatasi itu, Bekraf memfasilitasi komunitas dan asosiasi pengembang gim lokal untuk mengikuti berbagai perhelatan internasional.

Dari ajang tersebut, pengembang lokal berkesempatan bertransaksi bisnis dengan publisher gim dunia.

Persoalan lain dihadapi subsektor film. Saat ini jumlah penonton terus bertambah namun tidak dibarengi dengan infrastruktur jumlah bioskop.  Saat ini bioskop masih terkonsentrasi di kota-kota besar, belum menjangkau hingga kawasan kabupaten. “Belum sebanding dengan rasio jumlah populasi penduduk,” kata dia.

(Video Edisi KhususMusim Semi Industri Kreatif di Indonesia)

Selain itu pelaku film dihadapi dengan masalah kurangnya kru dan pembuat skenario film yang mumpuni. Untuk itu, Bekraf berupaya memfasilitasi dengan memberikan pelatihan dari para pelaku film luar negeri. 

“Tantangannya butuh kualitas film yang lebih baik, di ranah produksi perlu meningkatkan kualitas film,” kata Joshua.

Joshua mengatakan, film dapat menjadi lokomotif bagi efek berlapis (multiplier effect) terhadap berbagai subsektor ekonomi kreatif, seperti kuliner, wisata, budaya, dan sebagainya. Efek nyata tersebut membuat nilai ekonomi Indonesia pun akan bertambah juga.

Dia mencontohkan pada film Laskar Pelangi yang berhasil mendorong wisata ke Pulau Belitung. Bekraf saat ini sedang dalam kajian menghitung dampak multiplier effect atau efek berantai dari kegiatan ekonomi kreatif.

Efek Berantai Buku & Film Laskar Pelangi
Infografik Efek Berantai Buku & Film Laskar Pelangi (Katadata)
 

Sementara itu, tantangan di subsektor musik masih terkait dengan persoalan royalti. Dia mencontohkan karaoke yang beroperasi seharusnya membayar royalti ke pemilik hak cipta.

“Seharusnya karaoke house itu sumber pendapatan seperti halnya biokop. Itu sumber penerimaan luar biasa, tantangannya bagaimana memonitor dan memonetisasinya,” kata Joshua.

Saat ini Bekraf sedang menggodok platform Project Portamento, membantu mengatasi masalah pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual di dunia musik. Platform ini dapat digunakan untuk penjualan musik secara digital dan memberikan royalti kepada pemilik hak cipta.

(Baca: Blockchain Optimalkan Monetisasi Kekayaan Intelektual Sektor Kreatif)

Halaman:
Reporter: Heri Susanto
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...