BMKG Diminta Pasang Pengukur Ketinggian Air Laut Antisipasi Tsunami
Adapun, aktivitas erupsi dengan laju besar pada tanggal 26-27 Desember 2018 telah menyebabkan puncak Gunung Anak Krakatau yang terbangun sejak 1950 hilang. Gunung Anak Krakatau kini hanya memiliki ketinggian 110 m dpi dari semula 338 m dpi.
Sebagian puncak gunung ikut terletuskan dan sebagian longsor. Puncak aktivitas letusan sudah terjadi mulai 26 Desember dan selesai 27 Desember 2018 pukul 23.00.
Posisi kawah yang berada di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air laut menjadikan tipe letusan berubah dari Strombolian ke Surtseyan. Letusan jenis ini tidak akan menimbulkan tsunami karena terjadi di permukaan air dan material cenderung terlempar ke udara secara total.
Menurut Antonius, aktivitas Gunung Anak Krakatau sekarang dipantau dengan beberapa stasiun seismik di lereng dan di Pulau Sertung (SRT). Stasiun seismik yang dipasang di tubuh Anak Krakatau akan terdampak langsung letusan apabila terjadi erupsi.
(Baca: Volume Anak Krakatau Tersisa 30% Pasca Erupsi, Potensi Tsunami Minim)
Stasiun seismik di Anak Krakatau penting untuk mendeteksi perubahan fase tenang dan erupsi. Ini karena di awal akan tercatat gempa-gempa vulkanik berukuran kecil dan sulit tercatat di stasiun seismik yang lebih jauh. Akan tetapi, ketika aktivitasnya tinggi, stasiun di Pulau Sertung bisa mencatat dengan jelas.