Efek Ma'ruf Amin Jadi Cawapres, Isu SARA akan Bergeser ke Ekonomi

Dimas Jarot Bayu
20 Agustus 2018, 16:03
Jokowi-Ma'ruf Amin
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Calon presiden petahana Joko Widodo didampingi calon wakil presiden Ma\'ruf Amin dan para petinggi partai politik pendukung tiba di Gedung Joang, Jakarta, Jumat (10/8/2018).

"Kalau dia (Prabowo) bawa platform ekonomi akan menggoyang Jokowi," kata Arya, beberapa waktu lalu. 

Politik identitas tak selamanya efektif

Figur religius dianggap penting lantaran kekhawatiran berkembangnya isu politik identitas dalam Pilpres 2019. Kekhawatiran ini dipicu sejak Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI melakukan demontrasi 212 pada 2 Desember 2016 saat Pilkada DKI Jakarta 2017.

Gerakan 212 menuntut eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama. Sejak gerakan tersebut, intoleransi politik menguat di berbagai daerah.

(Baca juga: Prabowo-Sandiaga Klaim Ingin Berkuasa Agar Tak Ada Lagi Orang Miskin)

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan kekhawatiran berkembangnya politik identitas juga terekam dalam Pilkada 2018 dengan maraknya duet nasionalis-religius. Hanya saja, dia menilai strategi tersebut belum tentu efektif digunakan di seluruh wilayah.

Burhanuddin menjelaskan, politik identitas hanya bekerja signifikan dalam wilayah yang komposisi SARA tidak terlalu timpang. Beberapa daerah yang dianggap politik identitasnya bekerja signifikan, antara lain Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara.

Di Jakarta misalnya, komposisi etnis dianggap tidak terlalu timpang karena Jawa 35%, Betawi 28%, Sunda 16%, Tionghoa 7%. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa isu politik identitas begitu efektif bekerja selama Pilkada DKI Jakarta 2017.

Sementara di kawasan Jawa Barat dengan komposisi etnisnya didominasi Sunda dan mayoritas masyarakatnya beragama Islam, isu tersebut tak berlaku. "Polanya politik identitas itu di wilayah satu bisa bekerja, di wilayah lain tidak bekerja," kata Burhanuddin, beberapa waktu lalu.

Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyarankan agar ke isu SARA tak lagi digunakan sebagai strategi pemenangan pemilu. Menurutnya, lebih baik jika kompetisi politik di Indonesia dapat lebih berfokus pada kompetensi rekam jejak, dan program kandidat selama Pilpres 2019.

Siti menjelaskan, berkembangnya intoleransi saat ini merupakan hasil keteledoran elit menggunakan politik identitas dalam kampanye, baik dalam Pemilu 2014 maupun Pilkada DKI 2017. Sebelum perhelatan tersebut, Siti menilai identitas personal tak pernah menjadi masalah.

Pada Pemilu 2009 misalnya, baik pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono atau Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto sama-sama berlatar nasionalis-nasionalis. Tak ada sosok dari dua pasangan tersebut memiliki figur religius.

"Jadi tak usah membahas (isu agama) itu karena takut kalah," kata dia.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...