Hakim MK Anggap Perwakilan Jokowi Tak Tegas soal Uji Materi UU MD3

Dimas Jarot Bayu
11 April 2018, 18:35
Mahkamah Kontitusi
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Perwakilan pemerintah dan Presiden Joko Widodo dalam sidang uji materi Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2018 atas perubahan kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan pemerintah bersepakat dengan DPR dalam pembahasan aturan tersebut. Hakim MK menganggap pemerintah tidak tegas dalam menyikapi gugatan uji materi UU MD3

Pemerintah yang diwakili Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM Ninik Hariwanti menilai berbagai pasal tersebut mengatur mengenai pemanggilan paksa, penyanderaan, serta penambahan wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD memiliki wewenang untuk mengambil tindakan hukum terhadap hal yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya, serta aturan mengenai perlunya pertimbangan MKD dan Presiden sebelum penegak hukum memeriksa anggota DPR sehubungan tindak pidana.

"Dalam UU aquo merupakan norma yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR sesuai Pasal 20 ayat 2 UUD 1945," kata Ninik, dalam sidang pada Rabu (4/11).

(Baca juga: Jokowi Pastikan Tidak Akan Teken UU MD3)

Ninik pun menyebut jika berbagai pasal yang dipermasalahkan tersebut telah ada pada aturan-aturan sebelumnya. Ninik mengatakan, klausul pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam Pasal 73 UU MD3 sebenarnya bukan hal baru. Ketentuan tersebut juga telah diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 72 UU Nomor 27 Tahun 2009, dan UU Nomor 17 Tahun 2014.

"Pemanggilan paksa dan penyanderaan dalam UU aquo sama dengan ketentuan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan pada UU MD3 sebelumnya. Namun pada UU aquo lebih luas mengatur mengenai mekanisme pemanggilan paksa," kata Ninik.

Persoalan mengenai hak imunitas bagi anggota DPR dalam UU MD3 pun sebenarnya telah ada dalam Pasal 20A ayat 3 UUD 1945. Menurut Ninik, hak imunitas diperlukan karena pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional DPR harus diimbangi dengan adanya perlindungan hukum yang memadai dan proporsional.

Selain itu, klausul diperlukannya pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan Presiden sebelum penegak hukum dapat memeriksa anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana juga telah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014. Hanya saja, MK telah menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

"Sudah diputus MK melalui putusan Nomor 76/PUU-XII/2014," kata Ninik.  (Baca: Atur Imunitas dan Antikritik DPR, UU MD3 Akhirnya Digugat ke MK)

Meski telah sepakat, Ninik menilai berbagai pasal yang digugat tersebut bukan merupakan usulan pemerintah. Pemerintah, lanjut Ninik, hanya mengusulkan adanya penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, alat kelengkapan dewan di MKD, serta tugas badan legislasi.

"Perlu dibentuk UU aquo guna meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat untuk mengembangkan kehidupan demokrasi," kata Ninik.

Sikap pemerintah ini berbeda dengan DPR yang diwakili anggota Komisi III dari PDIP Arteria Dahlan. Arteria secara tegas menilai bahwa para pemohon tak memiliki kedudukan hukum yang jelas dalam uji materi UU MD3.

Alasannya, empat pemohon yang terdiri dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Partai Solidaritas Indonesia, mahasiswa pascasarjana Agus Mulyono Herlambang, serta Zico Leonard Simanjutak dan Josua Satria Collins sebagai perseorangan tak memiliki relevansi terkait UU MD3.

Selain itu, Arteria menilai para pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional atas berlakunya pasal-pasal UU MD3 yang digugat. "Uraian hak konstitusional yang dirugikan tersebut hanya mengenai potensi atau kekhawatiran, bukan masalah yang telah terjadi kepada pemohon," kata Arteria.

Melihat hal tersebut, Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna menilai ada perbedaan yang mendasar jika keterangan Presiden dan DPR disandingkan. Palguna menilai pemerintah terkesan hanya mengusulkan perluasan kepemimpinan di DPR dan MPR.

(Baca: Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3)

Sementara, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai dinyatakannya usulan pemerintah hanya terkait adanya penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, AKD MKD, serta tugas Baleg seolah mau menegaskan alasan mengapa Jokowi tak menandatangani UU MD3. Padahal, UU MD3 tersebut merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

"Pemerintah tidak tegas meminta untuk menolak permohonan para pemohon, tidak eksplisit seperti biasanya," kata Saldi.

Karenanya majelis hakim MK dalam perkara ini meminta agar pemerintah memberikan keterangan tertulis terkait hal tersebut. Sidang pun ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada Kamis (19/4) dengan mendengarkan keterangan ahli.

Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...