RUU KUHP Ancam Kriminalisasi Kritikan Masyarakat
Selain itu, pasal tersebut dibatalkan dengan pertimbangan menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu proses, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
"Sebelumnya pasal ini sudah dibatalkan oleh MK dan rumusannya sama persis dalam RKUHP. Sangat aneh pasal yang sudah mati dihidupkan kembali," kata Gading.
Koordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto menyebut, berbagai pasal dalam RKUHP tersebut berpotensi mempersempit ruang demokrasi. Sebab, banyak masyarakat yang akan dibungkam ketika mengekspresikan dirinya.
Alhasil, dia menilai jika berbagai pasal dalam RKUHP tersebut tidak sesuai dengan konstitusi. "Pembatasan itu bisa merangsek jauh ke ruang-ruang. Efeknya bukan hanya pada jurnalis, tapi juga masyarakat luas," kata Damar.
Damar mengatakan, pembatasan yang dilakukan penguasa melalui RKUHP ini akan menjadikan Indonesia mirip seperti Filipina di mana salah satu media massa, Rappler, ditutup paksa oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Rappler dituduh oleh Duterte menyebarkan hoaks, tidak nasional dan menyebarkan kebencian akibat memberitakan kebijakan perang terhadap narkotika yang dilakukan Duterte. "Itu gambaran kebebasan berekspresi dibatasi. Kalau RKUHP disahkan, itu bisa terjadi di sini," jelasnya.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menambahkan, sikap anti kritik dan perlindungan yang berlebihan terjadi di pemerintahan dan DPR. "Kritik masyarakat merupakan bagian dari hak politik warga,” kata Dadang.
(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)