Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3

Dimas Jarot Bayu
Oleh Dimas Jarot Bayu - Yuliawati
14 Februari 2018, 05:00
Rapat Paripurna DPR
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Sejumlah anggota fraksi Nasdem melakukan Walk-Out pada Rapat Paripurna pengambilan keputusan revisi UU MD3 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2).

(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)

UU MD3 juga mengatur hak kontroversial dari MKD dalam terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya. Pasal 122 huruf k dalam revisi UU MD3 itu menyebutkan, dalam melaksanakan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: (k) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya menilai munculnya pasal tersebut tak tepat dengan kondisi yang ada saat ini. Sebab, DPR memang saat ini merupakan lembaga yang layak dikritik masyarakat karena berkinerja buruk.

Gading mengatakan, adanya pasal tersebut membuat potensi pembungkaman kritik masyarakat terhadap DPR semakin besar. Sebab saat ini saja sudah ada Pasal 207 dalam KUHP yang mengatur mengenai penghinaan terhadap penguasa dan badan umum. "Artinya makin banyak delik penghinaan, makin tinggi juga potensi pembungkaman terhadap DPR," kata Gading.

Selain itu, pasal tersebut bermasalah dari segi norma karena tidak dijelaskan secara rinci apa saja yang dapat dianggap merendahkan martabat DPR dan anggotanya. Hal ini, lanjutnya, dapat membuat adanya tafsir subjektif jika ada yang mengkritik kinerja DPR.

"Tidak dijelaskan lebih rigid tindakan apa saja yang merendahkan martabat dan yang dianggap kritik, aspirasi dan pendapat," kata Gilang.

(Bacajuga: Dapat Kursi Pimpinan DPR dan MPR, PDIP Akan Tunjuk Politisi Senior)

UU MD3 juga mendapat sorotan dengan mengatur kepolisian untuk memanggil paksa rekan kerja yang mangkir hadir dalam rapat. Bunyi UUMD3 Pasal 73 ayat 4, yakni: Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Wasisto mengatakan aturan tersebut melanggar pembagian kekuasaan dalam trias politica. Seharusnya DPR tak dapat memerintahkan kepolisian yang merupakan aparat penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.

"Berbagai kewenangan DPR ini mengarah otoritarian sempit, DPR menyalahi fondasi dasar demokrasi, padahal mereka sendiri hasil dari proses demokrasi," kata Wasisto.

Wasisto menyarankan agar masyarakat sipil mengajukan gugatan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi. Selain itu dia menyatakan protes dan demonstrasi selayaknya ditujukan kepada DPR atas terbitnya aturan yang salah kaprah ini. 

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...