Revisi Undang-Undang, DPR Belum Bulat Sikapi Status SKK Migas
Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat masih bergulat merampungkan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Pembahasan aturan tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini.
Salah satu fokus perdebatan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 itu menyangkut status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Sejumlah opsi masih berkembang atas kedudukan lembaga tersebut. (Baca: Serikat Pekerja Tolak SKK Migas di Bawah Menteri dan Pertamina).
Misalnya, beberapa anggota Dewan sempat mengusulkan agar SKK Migas menjadi badan otoritas, seperti Otoritas Jasa Keuangan. Namun anggota Komisi Energi dari Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir mengatakan opsi tersebut rawan terpenuhi, sebab berpotensi ditolak Mahkamah Konstitusi. “Karena berbeda (fungsi) dengan otoritas keuangan,” kata Inas kepada Katadata, Senin, 10 Oktober 2016.
Menurut Inas, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan disetujui Mahkamah Konstitusi dan bersifat independen. Di sisi lain, ruang lingkup SKK Migas tak sama dengan lembaga tersebut. Dengan demikian, menurut Inas, saat ini DPR hanya mengantongi satu opsi perubahan kelembagaan SKK Migas, yakni menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus.
Sementara itu, anggota Komisi Energi dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan kemungkinan SKK Migas menjadi BUMN Khusus masih dalam pembahasan fraksi-fraksi . “Biar internal kami selesaikan, baru nanti kalau sudah diketok di Badan Legislasi (Baleg) dan paripurna menjadi resmi sikap DPR,” kata Satya kepada Katadata, Senin, 10 Oktober 2016.
Saat ini, DPR juga sedang menggodok bab mengenai industri hilir minyak dan gas dalam RUU Migas. Misalnya, merumuskan cadangan minyak strategis atau Strategic Petroleum Reserve (SPR). Dalam Undang-Undang Migas yang lama, pokok-pokok soal hilir memang masih minim. (Baca: Fungsi SKK Migas Berpeluang Kembali ke Pertamina).
Seperti diketahui, SKK Migas awalnya bernama Badan Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas melalui amar putusan Nomor 36/PUU-X/2012 dan menitipkan pengelolan kegiatan usaha hulu migas kepada menteri. Melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013, pemerintah membentuk lembaga sementara bernama SKK Migas.
Revisi UU Migas masuk dalam Program Legislasi Nasional 2016. Sejak BP Migas dibubarkan pada 2012 dan dibentuk SKK Migas, belum terlihat titik terang upaya pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan revisi aturan tersebut untuk membentuk lembaga pengelola energi yang permanen.
Komisi Energi masih merampungkan proses pengumpulan poin-poin usulan revisi RUU Migas, termasuk kelembagaan SKK Migas. Berdasarkan salinan daftar poin usulan DPR yang diperoleh Katadata, mencuat banyak usulan. Fraksi Nasdem, misalnya, berharap SKK Migas digabung dengan PT Pertamina. (Baca: Bahas RUU Migas, DPR Usulkan Pembubaran SKK Migas).
Hal ini berbeda dengan pemerintah yang menginginkan SKK Migas tetap berdiri sebagai BUMN Khusus. Tugasnya mewakili pemerintah sebagai mitra kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas. Sedangkan posisi Pertamina di sektor hulu akan diperkuat.
Sementara itu, Serikat Pekerja SKK Migas menolak institusinya di bawah kementerian atau Pertamina. Ketua Serikat Pekerja SKK Migas Dedi Suryadi mengatakan badan atau lembaga pengelola energi harus berada di bawah Presiden. Hal ini berkaca dari kasus pengembangan Blok Masela. Pengembangan blok tersebut diputuskan Presiden Joko Widodo langsung demi kepentingan bangsa yang lebih besar.
Dengan contoh tersebut, posisi badan atau lembaga pengelola energi tidak bisa di bawah menteri atau perusahaan. “Kami mengusulkan dibentuk lembaga permanen yang posisinya langsung di bawah Presiden Republik Indonesia,” kata Dedi beberapa waktu lalu. (Baca: Gerakan Pekerja Usulkan SKK Migas Langsung di Bawah Presiden).